Mohon tunggu...
L H
L H Mohon Tunggu... profesional -

seorang ibu yang senang membaca & menulis ------------------ @ di Kompasiana ini TIDAK pernah pakai nick lain selain nama asli yg skg disingkat menjadi LH.----- di koki-detik pakai nick 'srikandi' \r\n\r\n----------------\r\nMy Website: \r\nhttp://www.liannyhendranata.com\r\n\r\n----------------\r\n\r\nmy twitter : \r\nhttp://twitter.com/#!/Lianny_LH\r\n\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mau Sukses?, Keluarlah dari Limbah Interaksi

5 Juni 2011   01:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:51 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Makna dari kata sukses itu, tidak ada standar bakunya, serba relatif bagi semua orang, jika kita mulai mencanangkan diri untuk meraih sebuah kesuksesan, mau tidak mau kita harus menyadari diri, saat ini dimana pijakkan kaki berada?, dan apa peran dan cara yang kita mau pakai dalam langkah menuju kesuksesan itu.

Tingkah laku kita dalam kehidupan, diri sendiri yang menentukan. Lepas dari kehidupan yang bagaimana?, kita bisa menentukan atau mengikuti aliran dari rasa tidak senang dengan suka memberi kritik pada yang lain, yang bisa kita katagorikan sebagai “limbah interaksi” nah disinilah kita sendiri yang bisa menentukan apakah kita mampu keluar dari lingkaran ‘limbah interaksi’ ini, atau malah berkubang tenggelam dalam limbah beracun ini. Tentu sukses atau tidaknya seseorang untuk keluar dari semua ini, terjadi dalam gradasi kepekaan dari usaha diri orang itu sendiri..!

[caption id="attachment_112160" align="aligncenter" width="300" caption="by google"][/caption]

Penulis mendapatkan pertanyaan itu dari buku kecil tipis. Buku kecil tipis yang ditulis George Sanchez dengan judul asli How To Get The Most Out Of Marriage dan diterjemahkan oleh Drs Harso diterbitkan Yayasan Kalam Hidup, itu memberi pertanyaan yang mendasar dan sangat dalam dari suatu hubungan antar manusia, bagaimana seseorang bisa mengasihi sekaligus mengerti akan diri kita.

Menurut George Sanchez, dikasihi adalah dimegerti, dimengerti adalah dikasihi! Seseorang yang mau mengerti lebih memperhatikan kepentingan Anda daripada kepentingannya karena seorang yang mengerti akan berusaha untuk tetap mengerti meskipun perangai Anda sangat berbeda dengan dirinya. Untuk mengerti, dibutuhkan pengorbanan dan mempertimbangkan kepentingan orang lain, inilah inti kerjasama team.

Manusia secara alami terlahir sebagai mahkluk sosial, dimana kebutuhan interaksi sangat kental, tapi sejalan dengan iklim budaya yang menelingkupinya, maka terjadi ‘pembunuhan’ atas dasar kebutuhan manusia yang paling penting yaitu interaksi yang didasari oleh kemauan diri paling dasar dari manusia itu sendiri yaitu :

  1. merasa dihargai
  2. merasa disayangi, dibutuhkan
  3. bermain dengan jiwa dalam ‘kemesraan’ kata lain keromantisan hubungan jadi inti relasi.

Tiga hal dasar interaksi ini sangat penting untuk membangun suatu komunitas kerja yang solid, dimana tercipta kesenangan, maka bekerja berdasarkan rasa bahagia, akan lebih efisien daripada bekerja hanya berdasar mekanisme fisik.

Salah satu dari ‘limbah Interaksi’ tanpa disadari banyak dari kita, jika tersandung masalah, langsung melepar diri pada peran sebagai “korban keadaan”. atau lebih jelasnya korban dari suatu tindakan orang yang memegang kekuasaan, baik itu kontek relasi biasa, atau perusahaan. Jika hal ini terjadi dalam satu organisasi, terjadi lempar tanggung jawab pada orang lain, dalam hal ini dicontohkan sosok pemimpin.!, seorang pemimpin sering terjebak pada kebiasaan menyalahkan bawahannya untuk suatu masalah yang timbul, sehingga jurang tercipta antara pemimpin dan bawahan, padahal untuk ‘menikmati’ bekerja bersama dengan kolega dan klien itu juga pilihan sendiri, dengan tujuan mau harmonis dan siap menghadapi masalah sendiri atau bersama.

Limbah Interaksi’ sangat fatal jika dibiarkan ada dalam kontek relasi kekeluargaan, banyak saudara saling tidak bersapa, bahkan ketika orang tua mereka sakit atau meninggal, masing-masing dari mereka masih bertahan dengan egonya, merasa dirinya benar, maka pihak lain yang harus mengalah untuk bersikap menurut yang dia mau dan menuntut permintaan maaf.

Jika semua orang merasa benar, siapa yang salah? Kenapa sampai ada permusuhan? Semua karena kita terjebak dalam limbah interaksi sosial, kita lupa pada dasarnya, ego semua manusia selalu merasa paling hebat, paling benar, bahkan ketika dia dalam posisi salahpun, masih melakukan pembenaran-pembenaran diri. Sebagai contoh soal, beberapa waktu lalu saya kedatangan klien, seorang perempuan cantik, dia katakan, ‘apa yang dia lakukan tidak salah, sebab calon suaminya itu, seorang lelaki yang mempunyai istri, seorang perempuan dari kalangan ‘bawah’ jadi sepantasnnyalah dia sebagai perempuan kelas ‘atas’ menolong lelaki tersebut untuk menceraikan istrinya, dan menikahi dirinya’.

Salah atau tidak salah, semua dibenarkan sendiri, karena kita melihat dari sudut pandang sendiri, dan jangan lupa pikiran dan hati nurani kita dimenangkan oleh ego! Untuk kesalahan dan pembenaran, kita memakai standar ganda untuk diri sendiri, pasti berbeda dengan untuk diterapkan pada orang lain.

semakin hari, kita merasakan, antar manusia semakin jauh memupuk cintakasih pada sesamanya, jangankan yang hidup berjauhan dan tidak ada kepentingan dengan hidup kita, bahkan yang berdekatan rumahpun, kita sudah kehilangan kemauan untuk hidup sebagai ‘sahabat’ sesamanya. Disinilah ‘limbah interaksi’ terlihat seperti: kekejaman hati, sifat acuh terhadap penderitaan orang malah semakin terpupuk. Kita kehilangan makna dari ‘manusia adalah sahabat sesamanya” , maka tidak heran, generasi muda lebih bengis, lebih arogan dan hilang rasa kemanusiaannya.

Tentu semua orang mendapat tantangan dalam hidup atau masalah dimana kita kehilangan arah dalam pribadi atau dalam situasi kehidupan itu sendiri. Tidak ada orang yang selalu bisa melihat secara jernih jika persoalannya menyangkut nasib dirinya. Kepalsuan hidup, sudah merupakan kerutinan dari satu silkus hidup, tetapi dengan prilaku kita bisa berbuat yang positif, jika kita sadar dan mau belajar menempatkan diri pada posisi orang lain. Tanya pada hati sendiri ‘jika saya yang mengalami hal tersebut, bagaimana rasanya?’

Pada kitab Jatakamala, tertulis : “Sesuatu dapat terlihat buruk, tetapi dapat juga terlihat baik. Sama sepertinya, sesuatu yang buruk, tidaklah terlihat buruk, Tindakan yang benar tidak nyata terlihat benar”

Para ahli jiwa berpendapat, pada dasarnya semua manusia baik adanya, hanya orang yang memperlihatkan keburukan sikapnya dalam kelompok berteman, itu disebabkan orang tersebut tidak punya kemampuan dalam menyalurkan cintakasih pada sesamanya, sebab dialah yang membutuhkan cintakasih kita. Jika kita berusaha keluar dari ‘lembah interaksi’ dan bergaullah dengan cintakasih dan saling pengertian, pasti team kerja akan sukses.!

semoga tulisan ini ada manfaatnya, salam bahagia selalu untuk semua,

terbit pada edisi cetak koran Suara Pembaruan edisi 5 Juni 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun