Mohon tunggu...
M. Ahmad
M. Ahmad Mohon Tunggu... -

good

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Etika Berbahasa

28 Januari 2012   02:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:22 2668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bahasa merupakan perkataan-perkataan yang digunakan sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Sebagai alat komunikasi, bahasa tentunya mempunyai aturan-aturan tertentu yang disesuaikan dengan situasi dan komunikan yang menggunakannya. Peribahasa mengatakan bahasa menunjukan bangsa, hal ini secara tidak langsung mengatakan bahwa perilaku berbahasa seseorang dapat dijadikan tolak ukur keberadaban suatu bangsa. Tidaklah salah jika pepatah mengatakan bahasa adalah cerminan pribadi seseorang, karena melalui tutur kata kita dapat menilai pribadi seseorang. Tutur kata yang baik, lemah lembut, sopan-santun, orang akan mencitrakan kita sebagai pribadi yang baik dan berbudi sebaliknya apabila perkataan seseorang buruk maka citraan buruklah yang akan melekat kepada pribadi orang tersebut. Kenapa demikian? Karena bahasa juga dapat menjadi alat kekerasan verbal yang terwujud dalam tutur kata seperti memaki, memfitnah, menghasut, menghina, dan lain sebagainya. Hal itu akan berdampak negatif terhadap perilaku seseorang seperti permusuhan, perkelahian, aksi anarkisme, provokasi dan sebagainya.

Di dalam bahasa Indonesia kita kenal dengan eufemisme yaitu gaya bahasa pelembut dengan cara menggantikan kata-kata dengan kata lain yang lebih sesuai dan tidak menyinggung perasaan. Contonya seperti dalam kalimat ” Dimana tempat kencingnya?” diganti dengan ”Dimana kamar kecilnya?” Kata "tempat kencing"(dalam bahasa sehari-hari biasa juga disebut WC) tidak cocok jika akan digunakan untuk percakapan yang sopan. Kata kamar kecil dapat menggantikannya. Kata kamar kecil ini konotasinya lebih sopan daripada kata tempat kencing. Jadi dalam eufemisme terjadi pergantian nilai rasa dalam percakapan dari kurang sopan menjadi lebih sopan. Beberapa waktu yang lalu, ketika lagi serunya membicarakan kasus bail out bank century, bahkansekarang ini mereka sibuk dengan pasar ikan, ada yang jualan teri bahkan jualan piranha. Sungguh disayangkan anggota DPR yang notebene terhormat sering menggunakan intonasi yang tinggi sehingga terkesan saling mencaki-maki satu sama lainnya, lebih-lebih lagi dengan apa yang dilakukan oleh Ruhut Sitompul dan Gayus Lumbuun dalam perang mulut menggunakan kata-kata yang tidak pantas (kasar) sehingga memberi kesan buruk bagi masyarakat.

Dalam bahasa Sunda ada yang disebut dengan undak usuk bahasa (tingkatan) yang digunakan dalam komunikasi sesama pengguna bahasa. Tingkatan tersebut meliputi 1) bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan orang tua atau orang yang lebih tua 2) bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan sesama/setara (usia) dan 3) bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan yang lebih muda. Ketiga tingkatan itu merupakan tatanan yang tidak bisa diabaikan begitu saja karena didalamnya terdapat sebuah nilai norma yang mengikat.

Di dalam ajaran Islam pun telah dijelaskan dengan gamblang, seperti dalam surat An-Nisa ayat 114 yang berbunyi "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia". Dengan demikian hendaknya pembicaran dilakukan dengan suara yang dapat didengar, tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu rendah, ungkapannya jelas dapat difahami oleh semua orang dan tidak dibuat-buat serta tidak ambiguitas.

Sejalan dengan itu, Q.S. Al Qalam [68]: 10-11), "Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi menghina. Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah". Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang berbunyi, "Orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaknya berkata baik jika tidak bisa lebih baik diam". Dalam hadis lain Nabi saw mengatakan "Orang yang disebut Muslim adalah orang yang bisa menjaga tangannya dan lisannya. Sempurnanya ajaran Islam, etika dalam berbahasa pun diaturnya dengan lugas.

Anjuran diatas juga relevan dengan pepatah lama yang mengatakan bahwa lidah itu tak bertulang. Lidah itu memang lunak, oleh karena itu orang yang lemah pun bisa bersilat lidah. Lidah itu lebih tajam dari pedang. Jika luka tersayat oleh pedang tidaklah susah untuk mengobatinya tetapi kalau luka hati tersayat oleh kata-kata, hendak kemana kita mencari penawarnya?

Begitupun dengan ungkapan mulutmu harimaumu--segala perkataan yang terlanjur kita keluarkan apabila tidak dipikirkan dahulu akan dapat merugikan diri sendiri. Apalagi kata-kata itu berisi kebohongan yang dapat menimbulkan fitnah. Peribahasa mengatakan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan”, begitu dahsyatnya kata-kata yang diucapkan sehingga lebih buruk dari menghilangkan nyawa sekalipun.Berapa banyak persaudaraaan yang terputus karena tikaman lidah dan gigitan harimau.

Sebagai bangsa yang beradab sudah semestinya kita menjaga perilaku berbahasa baik dalam situasi formal maupun informal yang mampu menciptakan suasana komunikasi yang baik sehingga mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang bermartabat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun