Sementara itu, Wilhelm Dilthey dan Max Weber membuka jalan bagi Interpretivisme. Mereka melihat dunia sosial bukan sekadar objek, melainkan ruang makna. Realitas sosial dibentuk oleh bahasa, budaya, dan interaksi manusia. Fakta sosial bukan hanya angka, melainkan tafsir yang diciptakan manusia. Di sini, peneliti lebih mirip penafsir ketimbang pengukur: berusaha memahami "mengapa" dan "bagaimana", mencari makna di balik tindakan, budaya, dan sejarah.
Akhirnya, ketiga aliran ini tidak harus saling meniadakan. Positivisme memberi fondasi ketertiban, Post-Positivisme mengingatkan keterbatasan, dan Interpretivisme membuka ruang makna. Bersama-sama, mereka ibarat kompas: bukan hanya menunjukkan arah, tetapi juga mengajarkan cara berjalan dengan sadar---bahwa ilmu, pada akhirnya, adalah perjalanan manusia membaca dirinya sendiri.
Menyelami Perspektif Filsuf Timur/Islam
Dalam khazanah filsafat Timur dan Islam, ilmu tidak pernah berdiri sendiri. Ia bukan sekadar tumpukan data atau tafsir, melainkan jalan menuju hikmah---kebijaksanaan yang membimbing manusia. Ilmu selalu terikat dengan nilai, moral, dan tujuan akhir kehidupan. Di sini, filsafat manajemen dipandang bukan hanya sebagai alat, melainkan amanah.
Al-Qur'an menegaskan manusia sebagai khalifah di bumi. Artinya, ilmu dan manajemen tak boleh berhenti pada efektivitas teknis, tetapi harus menuntun pada keberlanjutan, keadilan, dan kemaslahatan. Bila positivisme berbicara tentang hukum, interpretivisme tentang makna, dan kritisisme tentang perubahan, maka Islam menambahkan dimensi transendensi: semua pengetahuan bermuara pada Tuhan, dan setiap praktik berorientasi pada nilai moral serta tanggung jawab sosial.
Al-Ghazali mengingatkan bahwa pengetahuan sejati lahir ketika akal bertemu dengan cahaya hati. Sekadar mengetahui teori tanpa kesadaran spiritual hanyalah serpihan informasi yang kering. Ia menegaskan: "Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan." Pengetahuan sejati bukan hanya mengetahui apa yang benar, melainkan melakukan apa yang baik.
Ibn Sina menambahkan nuansa lain. Ia melihat akal sebagai instrumen utama pengetahuan, tetapi tetap menempatkan wahyu sebagai sumber kebenaran tertinggi. Baginya, rasio dan spiritualitas bukanlah musuh, melainkan pasangan yang saling melengkapi. Karena itu, penelitian tidak sekadar menguji hipotesis, tetapi juga bagian dari perjalanan spiritual menuju kebenaran.
Al-Farabi melangkah dengan penekanan pada harmoni akal dan jiwa. Ilmu, baginya, harus membimbing manusia menuju kebajikan dan tatanan sosial yang adil. Pengetahuan yang hanya mengukur tanpa menuntun pada moral adalah pengetahuan yang pincang. Dari sinilah lahir pandangan bahwa etika tak bisa dilepaskan dari metode.
Ibn Khaldun, dengan Muqaddimah-nya, menegaskan dimensi sosial dalam ilmu. Realitas sosial tidak bisa dipahami hanya dengan angka, tetapi harus dibaca melalui sejarah, budaya, dan nilai yang melingkupinya. Fakta sosial selalu berakar pada konteks zamannya. Data tanpa narasi hanyalah cangkang kosong.
Dari semua itu, kita menemukan benang merah: dalam filsafat Islam, ilmu bukan tujuan akhir, melainkan jalan yang menuntun manusia menuju kebijaksanaan. Bukan pengetahuan yang berhenti di kepala, tetapi kesadaran yang mengakar di hati, beresonansi dalam perilaku, dan menyatu dengan kehidupan.
Â
Refleksi Hidup Praktis, Gaya Mr.K
Pada akhirnya, filsafat ilmu manajemen bukan sekadar kerangka akademik. Ia adalah cara kita menjalani hidup. Ada saatnya kita berpikir seperti seorang positivis---menghitung, mengukur, dan merencanakan langkah dengan presisi. Di saat lain, kita perlu menjadi post-positivis---sadar bahwa kebenaran mutlak sulit digenggam, terbuka pada kritik, dan rela mengoreksi diri ketika kenyataan berubah. Lalu, kita pun perlu menjadi interpretivis---mendengar, memahami, dan menafsirkan kisah manusia yang tak pernah tercatat dalam grafik. Dan pada titik tertentu, kita mesti bersikap kritis---menggugat sistem yang timpang, menolak kenyamanan yang menindas, serta menyuarakan perubahan.