Â
Vigeland Sculpture Park di Oslo bukan sekadar taman seni. Ia lebih mirip buku kehidupan yang ditulis dalam bahasa patung. Dari gerbang, jembatan, fountain, hingga plateau. Setiap langkah adalah bab tentang manusia: lahir, mencinta, berjuang, lalu kembali pada roda kehidupan yang abadi. Gustav Vigeland merangkai semua ini sebagai cermin kita sendiri; tentang hidup yang menanjak, dan makna yang melampaui harta serta kuasa.
 Taman Konsep Kehidupan
Vigeland Sculpture Park di Oslo, Norwegia, adalah taman yang lebih dari sekadar tujuan wisata seni. Menyusurinya serupa membaca naskah kehidupan yang ditulis dalam bahasa patung.Â
Gerbangnya melambangkan awal perjalanan; jembatannya menghadirkan gelora emosi yang murni; fountain-nya bagaikan beban hidup yang harus ditanggung; sementara plateaunya yang megah menyingkap roda kehidupan yang abadi. Setiap langkah terasa seperti membuka bab dalam sebuah epos tentang manusia.
Gustav Vigeland memang bukan sekadar membangun taman. Ia membangun narasi visual tentang kita semua; tentang saya, tentang Anda, tentang setiap orang yang pernah lahir dan mati.Â
Ketika kita melangkah keluar gerbang kembali ke Oslo yang modern, kita akan membawa sesuatu yang tak kasat mata: kesadaran bahwa hidup ini memang sebuah perjalanan menanjak, dengan puncak bukan pada kekuasaan atau harta, melainkan pada kebersatuan dan makna.
Gustav Vigelend, Ambisi, dan Kesempatan Emas
Lahir pada 1869 di Mandel, kota kecil di pesisir Norwegia, sebagai anak tukang kayu sederhana. Sejak muda Gustav Vigeland senang memahat kayu yang menjadi hobinya. Tangannya tak bisa diam, mencari bentuk yang lebih besar dari sekedar mainan anak desa. Ia selalu mencoba sesuatu yang lebih besar.
Obsesi itu kelak membawanya jauh ke Paris, berjumpa karya Rodin; ke Firenze dan Roma, menghirup nafas Michelangelo. Tapi jika Rodin bicara tentang gairah, dan Michelangelo tentang kemuliaan dewa, Vigeland memilih "manusia telanjang biasa" dengan segala kelemahan, cinta, kemarahan, dan kefanaan sebagai passion yang menjadi jiwa karya patungnya.
Obsesi karya patungnya pada tubuh manusia, sebagai bahasa universal. Manusia tanpa busana yang menutupinya. Tak ada toga kekaisaran, tak ada seragam militer, tak ada simbol politik. Hanya manusia, sebagaimana adanya. Ia percaya, di situlah kejujuran sejati berada.
Namun karya sebesar ini tak lahir dari tangan seorang seniman saja. Ada lapisan politik dan sejarah yang menyertainya. Pada dekade 1920-an, Oslo memberi Vigeland keistimewaan: tanah seluas 80 Hektar di Frogner Park untuk mewujudkan visinya. Sementara studio lamanya dijadikan museum pribadi. Sebuah kontrak yang tak biasa. Seorang seniman patung diberi ruang kota, bahkan identitas kota, untuk diwujudkan melalui pahatan tangannya. Sebuah kepercayaan luar biasa.
Norwegia saat itu baru saja lepas dari persatuan dengan Swedia (1905). Sedang mencari wajah dan jati diri kebangsaannya sendiri. Dan Gustav Vigeland, dengan 200 lebih patung monumental, menyumbangkan cermin: inilah manusia Norwegia, kuat tapi rentan, lugas tapi penuh gejolak, terhubung dengan alam sekaligus terikat oleh takdir.