"Gue tuh literally overthinking banget akhir-akhir ini. But yaudahlah ya, self-reward dulu." "Die mah orangnya mager, apalagi sekarang lagi bucin, uda deh nggak bisa kita ajak nongki-nongki kayak dulu." Anda yang tak terbiasa mendengarnya, pasti akan bertanya dalam hati, "anak muda ini ngomong apa ya ?", paling tidak Anda akan mengernyitkan dahi, karena tak mengerti apa maksudnya. Sejenak kita merasa asing di negeri sendiri.Â
Memahami Fenomena Linguistik dan Sosial yang Khas
Menyingkat kata, mencampurnya dengan bahasa asing; biar dianggap lebih keren, dan menggunakan singkatan khas dalam bahasa gaul adalah gejala linguistik dan sosial yang khas dan menjadi fenomena masyarakat Indonesia.Â
Sebuah kenyataan umum yang kita lihat dan dengar di kota-kota besar dan bahasa pergaulan di media sosial. Kita menyaksikannya sehari-hari, dari percakapan remaja di kafe, obrolan di WhatsApp Group, hingga unggahan di TikTok.
Untuk memahami fenomena ini, kita dapat menelusuri jelasannya dari berbagai sudut pandang, yaitu; efisiensi dan ekonomi bahasa, pengaruh budaya lisan dan kolektivitas, kreativitas bahasa dan permainan kata, pengaruh teknologi dan media sosial, serta cermin dinamika sosial dan generasi.
Dari sudut pandang efisiensi dan ekonomi bahasa, berkomunikasi secara cepat, ringkas, dan praktis, terutama dalam konteks lisanatau media digital (Chat, SMS, Media Sosial) adalah kecenderungan (kesukaan) orang Indonesia. Maka jangan heran, kata "Terima Kasih" lebih suka disingkat "Makasih"Â
"OTW" (on the way) lebih banyak mengganti kalaimat, "saya sedang dalam perjalanan", sementara "Gabut" (gaji buta) lebih ekspresif dan singkat ketimbang menjelaskan "situasi tidak produktif di kantor." Semua ini mencerminkan prinsip ekonomi bahasa, yakni kecenderungan alami manusia untuk menyampaikan makna sebesar mungkin dengan usaha sekecil mungkin.
Budaya Indonesia sangat kuat dalam komunikasi lisan dan komunal. Dalam kehidupan sehari-hari terlihat bahwa pengarus budaya lisan dan kolektivitas menjadi sangat kuat. Singkatan menjadi bagian dari "kode sosial" yang menguatkan rasa kebersamaan. Ekspresi kolektif yang membentuk identitas kelompok memunculkan kata seperti "nongki" (nongkrong), "baper" (bawa perasaan), atau "julid" (iri atau nyinyir).
Di sisi lain masyarakat Indonesia memiliki kreativitas tinggi alam berbahasa dan permainan kata. Bahasa Indonesia sangat cair dan fleksibel. Penyingkatan sering kali menjadi ajang kreativitas dan kejenakaan linguistik.
"Anak Jaksel" (Jakarta Selatan) memadukan Bahasa Indonesia dan Inggris secara santai. "Kepo" (knowing every particular object), dari bahasa Hokkien ke bahasa gaul). "Woles" (kebalikan dari "selow" alias santai). Bentuk-bentuk ini seperti "mainan bahasa" yang membangun gaya komunikasi identitas, terutama di kalangan muda.
Pengaruh teknologi dan media sosial demikian massif memberi efek yang luar biasa dalam berkomunikasi lisan dan tulisan. Sejak era SMS hingga Tik Tok dan Twitter/X, keterbatasan karakter dan kecepatan respons mendorong penggunaan singkatan dalam berkomunikasi dan bersosialisasi. Lalu menyebar ke percakapan lisan.
"OOTD", Outfit of The Day. Digunakan untuk menunjukkan pakaian atau gaya berbusana seseorang pada hari itu. Misalnya, "Wih...OOTD ke kondangan hari ini elegan banget!"