Itulah misi seri ini: membumikan filsafat, dalam bahasa yang ringan, reflektif, dan relevan—agar ia tidak tinggal di menara gading, tapi hadir di hati setiap orang.
Selamat datang di perjalanan Filsafat 2 Menit bersama Mr.K. (Kusworo)
Mari kita mulai.
Rubrik: Filsafat 2 Menit By Mr.K
Episode : 1 (satu)
Judul : Apakah Bahagia Itu Harus Dikejar?
“Bahagia” adalah kata yang terasa indah dan terdengar manis di telinga siapa saja. Kita sering mendengar banyak orang berkata,“Aku ingin mengejar kebahagiaan.”
Namun pertanyaan kecil yang jarang kita tanyakan adalah apakah kebahagiaan memang sesuatu yang bisa dikejar? Atau justru, semakin kita mengejarnya, semakin ia menjauh? Kadang dalam kehidupan, kita melihat seorang mengalami kebahagiaan tanpa terlihat ia berusaha mengejarnya. Jadi mana yang harus kita jadikan pegangan.
Coba renungkan. Ada orang yang hidupnya tampak sempurna: jabatan tinggi, rumah megah, barang-barang berkelas, dan perjalanan keliling dunia. Dari luar, ia terlihat seperti pemenang. Tapi di dalam, hatinya kosong; seperti orang berlari di atas treadmill: keringat bercucuran, tenaga habis, namun tetap tidak berpindah dari tempat semula.
Para filsuf sejak lama memikirkan hal ini. Epikouros, dari Yunani Kuno, melihat kebahagiaan dalam kesederhanaan: sepotong roti, sahabat setia, dan hati yang damai. Kaum Stoik, seperti Seneca dan Marcus Aurelius, menegaskan: bahagia hadir bukan karena dunia tunduk pada kita, melainkan karena kita mampu menundukkan pikiran sendiri.
“Kebahagiaan itu sederhana: sepotong roti, sahabat setia, dan hati yang damai.” (Epikouros-Yunani Kuno)
“Kebahagiaan hadir ketika kita mampu mengendalikan pikiran, bukan dunia di luar kita.” (Seneca-Stoik, Romawi)
“Kebahagiaan hidupmu bergantung pada kualitas pikiranmu.” (Marcus Aurelius-Stoik,Romawi)
Dalam tradisi Islam, kebahagiaan sejati disebut sa‘ādah. Imam Al-Ghazali menekankan, kebahagiaan bukan pada apa yang kita genggam, melainkan pada hati yang tenang: “Alaa bidzikrillahi tathma’innul qulub” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Ibn Miskawayh, filsuf etika dari abad ke-10, menambahkan bahwa kebahagiaan lahir dari keselarasan jiwa, ketika akal, emosi, dan nafsu berjalan dalam keseimbangan. Sedangkan Al-Farabi, yang dijuluki Guru Kedua setelah Aristoteles, melihat kebahagiaan sebagai tujuan tertinggi manusia: pencapaian kesempurnaan akal yang membuat kita dekat dengan Yang Maha Esa.
“Bahagia bukan pada harta, tapi pada hati yang tenang dalam mengingat Allah.” (Al-Ghazali-Islam abad ke 11)
“Kebahagiaan lahir dari jiwa yang seimbang; akal, emosi, dan nafsu berjalan selaras.” (Ibn Miskawayh (Islam abad ke-10)
“Kebahagiaan adalah tujuan tertinggi manusia: kesempurnaan akal yang mendekatkan kita pada Yang Maha Esa.”(Al-Farabi-Islam abad ke-10)
Mungkin, bahagia itu bukanlah sebuah tempat yang menunggu di ujung jalan. Ia hadir dalam cara kita melangkah; dengan syukur, sabar, dan kesadaran bahwa hidup hanyalah titipan. Bahagia adalah ketika kita tetap menemukan arah, meski dunia berputar begitu cepat.
Jadi, pertanyaan yang tersisa: Apakah kita benar-benar sedang mengejar kebahagiaan, atau justru lupa bahwa kebahagiaan sejati datang saat hati kembali kepada Sang Pencipta? Saat kita tersungkur dalam sujud dan doa. Dan menyadari sepenuhnya, bahwa hanya karena Kehendak Nya, kebahagiaan sejati akan kita nikmati di dunia dan di alam akhirat sana.