Â
Manusia seharusnya menyadari bahwa seluruh proses kehidupan ini bukan kebetulan semata. Ia adalah karya seni ketuhanan. Dan tugas kita adalah menggunakan seluruh anugerah ini untuk mengenal, menyembah, dan kembali kepada-Nya. Banyak ulama besar mengatakan, "Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya."
Pernahkah kita bertanya, mengapa manusia hidup, bisa mendengar, melihat, berbicara, memahami, memiliki pengetahuan, berkeinginan,dan memiliki kehendak? Bagi Sebagian orang, itu hanya soal anatomi: ada gendang telinga, retina mata, neuron, pita suara, otak besar, dan syaraf pusat.
Tapi bagi mereka yang menyelami hakikat tauhid, semua itu bukan sekadar fungsi biologis, melainkan pancaran dari tujuh sifat agung yang menjadi dasar keesaan Tuhan: Sifat Ma'ani Allah SWT. (sifat yang menunjukkan kesempurnaan kemampuan Allah dalam hal mencipta, mengetahui, berkehendak, mendengar, melihat, dan berbicara.)
Tujuh sifat Allah yang menjadi inti dari sifat wajib-Nya mewarnai kehidupan manusia sejak sebelum menjadi janin hingga saat kematian. Dalam pandangan tauhid, sifat-sifat ini bukan sekadar atribut Tuhan, tetapi juga menjadi jejak kekuasaan-Nya yang tercermin secara metafisik dalam proses hidup manusia.
Ini bukan bermakna manusia menyamai Tuhan, tetapi sebagai makhluk-Nya, manusia "dipinjamkan" sebagian manifestasi sifat-sifat itu dalam takaran yang sangat terbatas, sebagai bukti keagungan dan kemahakuasaan-Nya.
Tujuh Sifat Allah Dalam Kehidupan Manusia
1. Hayat (Kehidupan) -- Jejak Sifat Allah Yang Maha Hidup dalam Proses Awal Manusia
Sifat Hayat bermakna bahwa Allah Maha Hidup; Â hidup-Nya tidak bermula dan tidak berakhir, tidak tergantung pada apapun, dan tidak pernah mati. "Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya)." QS. Al-Baqarah: 255 (Ayat Kursi)
Sifat Hayat ini juga bermakna bahwa Allah adalah sumber segala kehidupan, termasuk kehidupan manusia. Tanpa izin-Nya, tidak akan ada kehidupan yang tercipta.
"Dia-lah Yang Maha Hidup, tiada Tuhan selain Dia..." (QS. Al-Baqarah: 255). Ketika ruh ditiupkan ke dalam janin di usia 120 hari, manusia mulai bergerak, merasa, hidup. Hayat Allah bukan hidup yang terbatas, bukan seperti makhluk yang lahir lalu mati. Tapi kehidupan mutlak, yang tanpanya tak ada satu pun yang bisa hidup.
Sejati memang manusia hidup tapi hakekatnya kehidupan itu pemberian, bukan miliknya. Maka ketika jantung berdetak, itu bukan hanya kerja sistem kardiovaskular. Itu adalah tanda bahwa hidup itu hadir karena izin Yang Maha Hidup.
Tahapan Biologis dan RuhaniyahÂ
Nuthfah (Sperma/Ovum -- hari ke-0 hingga 40). Merujuk pada cairan mani atau embrio awal. Di sinilah kehendak Allah bekerja sejak awal. "Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina (mani)?" QS. Al-Mursalat: 20
Alaqah (Segumpal Darah -- usia sekitar 40 hari). Embrio menempel di dinding rahim, tampak seperti lintah. Allah yang mengatur perlekatannya.
Mudghah (Segumpal Daging -- usia sekitar 40-80 hari). Seluruh sistem mulai terbentuk. Tapi belum bernyawa dalam pengertian ruhani.
Tiupan Ruh (usia 120 hari / 4 bulan). Berdasarkan hadits shahih: "Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nutfah, kemudian menjadi alaqah selama itu juga, lalu menjadi mudghah selama itu juga. Setelah itu diutuslah malaikat dan ditiupkan ruh ke dalamnya..." (HR. Bukhari dan Muslim)
Di sinilah titik awal 'Hayat' dalam arti spiritual (nyawa) dimulai. Manusia mulai dianggap hidup secara ruhani dan menjadi makhluk individu.
Kehidupan adalah Amanah yang Ditetapkan Allah
Ketika ruh ditiupkan, manusia belum memiliki kesadaran. Tapi dalam pandangan tauhid, kehidupan sejak dalam kandungan sudah menjadi amanah, dan setiap jiwa yang hidup punya takdir, tugas, dan ujian.
"Tidaklah seorang jiwa pun mengetahui apa yang akan dikerjakannya besok, dan tidak (pula) seorang jiwa pun mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." QS. Luqman: 34
Perjanjian Ruhani: Janji Tauhid kepada Allah
Sebelum manusia lahir ke dunia, ruh manusia telah mengikat janji primordial (mtsq) dengan Allah. Hal ini terekam dalam Al-Qur'an: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.' (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: 'Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.'" (QS. Al-A'raf: 172)
Ayat ini menjelaskan bahwa setiap ruh manusia telah menyaksikan dan mengakui Tauhid, bahwa Allah adalah Tuhan dan Pencipta mereka. Ini disebut juga sebagai fitrah, yaitu kecenderungan ruhani manusia yang alami untuk mengenal dan mengakui Allah.
Dengan demikian, kehidupan manusia tidak dimulai saat ia lahir, tetapi sejak ruh ditiupkan, bahkan sebelumnya; saat ruh menyaksikan janji tauhid. Inilah alasan Islam memberi nilai sakral pada kehidupan sejak dalam kandungan.
Dalam perspektif Qur'ani, manusia bukan sekadar hasil dari proses biologis, tetapi juga makhluk ruhani yang mengemban amanah ketuhanan sejak dalam rahim. Kesaksian atas Rububiyyah Allah adalah dasar fitrah dan tanggung jawab eksistensial kita di dunia.
"Hidup bukan hanya proses menjadi, tapi juga proses mengingat bahwa kita pernah berjanji kepada Tuhan kita."
Kehidupan Bukanlah Milik Manusia
Walau manusia hidup, berjalan, berpikir, bernafas, namun hidupnya tidak berdiri sendiri. Nafas bisa berhenti kapan saja, jantung bisa lumpuh seketika. Semua itu menunjukkan bahwa kehidupan manusia tergantung sepenuhnya pada izin dan sifat Hayat Allah. "Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan kepada-Nya kamu akan dikembalikan."Â QS. Yunus: 56
Refleksi Tauhid atas Sifat Hayat dalam Diri Manusia, antara lain adalah kita tidak menghidupi diri kita sendiri. Setiap detak jantung, helaan napas, tumbuhnya sel adalah bagian dari karunia sifat Hayat-Nya.
Hayat sebagai Sumber Perjalanan Tauhid
Sifat Hayat bukan sekadar tanda bahwa Allah hidup, tapi bahwa Dia adalah sumber kehidupan. Dari pembuahan, tiupan ruh, hingga kelahiran, semuanya adalah bentuk manifestasi kasih sayang dan kekuasaan-Nya. "Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?" QS. Az-Zariyat: 20--21
2. Sama' -- Allah Maha Mendengar
Makna As-Sam'u sebagai Sifat Allah. Allah bersifat as-Sam' --- Maha Mendengar.
Pendengaran Allah tanpa alat, tanpa gelombang suara, tanpa batasan ruang & jarak. Meliputi bisikan hati, suara lisan, bahkan suara yang belum diucap.Tak ada suara yang tersembunyi dari-Nya, tak ada gema yang terlambat.
"Dialah yang menciptakan pendengaran, penglihatan, dan hati bagi kalian. Sedikit sekali kalian bersyukur."Â (QS. As-Sajdah: 9)
Sejak dalam kandungan, bayi sudah bisa mendengar detak jantung ibunya. Manusia tumbuh mendengar suara, musik, tangisan, kata-kata, bahkan bisikan hati sendiri. Tapi hanya Allah yang mendengar tanpa batas --- tanpa perlu alat, tanpa jarak, tanpa gangguan.
Kita mendengar hanya jika ada suara. Tapi Allah mendengar bahkan suara batin, doa yang terpendam, atau jeritan hati yang tak sempat terucap.
Pendengaran adalah Indra Pertama Manusia. Secara medis dan perkembangan neurologis: Pendengaran sudah aktif di usia janin 24--25 minggu. Bayi dalam kandungan mampu mendengar suara ibunya, detak jantung, bahkan ayat-ayat Al-Qur'an yang dibacakan. Ini menjadikan pendengaran sebagai jembatan kesadaran pertama sebelum lahir ke dunia.
Dalam dunia medis: Gelombang suara merambat ditangkap oleh telinga luar diubah menjadi getaran oleh tulang-tulang kecil diteruskan ke koklea diubah menjadi sinyal listrik dikirim ke otak. Kompleksitas ini menunjukkan bahwa pendengaran adalah ciptaan yang ajaib dan sangat presisi.
Dalam proses perkembangan bayi setelah lahir, pendengaran (as-sam') berfungsi lebih dahulu dibandingkan penglihatan (al-bashar). Hal ini dibuktikan baik oleh ilmu kedokteran modern maupun konsep dalam Al-Qur'an.
Pendengaran: Sistem pendengaran sudah mulai terbentuk dan aktif sejak bayi dalam kandungan, tepatnya pada usia kehamilan sekitar 18 minggu dan matang pada minggu ke-25--28. Setelah lahir, bayi bisa mengenali suara ibu dan suara-suara lain yang sering ia dengar selama di rahim. Pendengaran bayi sudah bisa merespon suara keras atau musik bahkan beberapa jam setelah lahir.
Penglihatan:Â Saat lahir, bayi memiliki penglihatan yang masih kabur. Ia hanya bisa melihat dalam jarak dekat (20--30 cm). Mata bayi mulai berfungsi dan belajar fokus secara bertahap hingga usia 3--4 bulan untuk mencapai penglihatan yang lebih jelas dan terkoordinasi.
Penegasan dalam Al-Qur'an: "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia menjadikan untuk kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur." (QS. An-Nahl: 78)
Susunan kata dalam ayat ini sangat menarik: Pendengaran Penglihatan Hati. Ini sesuai dengan urutan perkembangan sistem tubuh manusia menurut ilmu modern.
Dimensi Ruhani dan Akhlak
Mengapa Allah menyebut "pendengaran" sebelum "penglihatan" dalam Al-Qur'an? Karena pendengaran: Mewakili kesiapan menerima perintah (sami'n wa aa'n --- "kami dengar dan kami taati"). Mendahului penglihatan dalam struktur saraf janin. Lebih kuat terhubung ke pemahaman dan ketaatan dalam konteks wahyu.
"Dan Allah-lah yang mengeluarkan kalian dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur." (QS. An-Nal: 78)
Dalam tasawuf, pendengaran yang hakiki adalah: Mampu membedakan antara kebisingan dunia dan seruan hakikat. Mendengar bisikan batin yang bersumber dari fitrah dan bukan dari hawa nafsu.
Dalam konteks 7 sifat Allah, fungsi as-Sam' (Pendengaran) muncul lebih dahulu karena: Pendengaran menjadi sarana awal komunikasi antara makhluk dengan sekitarnya.  Dalam pendengaran ada proses menerima perintah dan wahyu, yang sangat penting dalam relasi manusia dengan Sang Khalik. Pendengaran menjadi "gerbang masuk" awal sebelum seseorang bisa mengenal ilmu, bicara, atau memilih (iradah).
Saat dunia masih kabur di depan mata seorang bayi, suara ibunya adalah yang pertama ia kenali. Sebelum ia bisa menatap langit dan warna-warni kehidupan, ia lebih dulu belajar mendengar... Inilah as-Sam', satu dari tujuh manifestasi sifat Tuhan dalam tubuh manusia yang rapuh namun penuh potensi."
Kita bisa memalingkan mata, tapi tak bisa menutup telinga tanpa alat bantu. Ini menunjukkan: Kerentanan terhadap suara --- sebab itu Allah perintahkan untuk menyaring apa yang didengar. Pendengaran buruk menimbulkan racun hati. Pendengaran yang jernih adalah jalan menuju hikmah.
"Sungguh beruntung orang-orang yang menjauh dari (perkataan) yang tidak berguna."Â (QS. Al-Mu'minn: 3)
"Kita lahir bukan dengan penglihatan, tapi dengan pendengaran. Maka, kehidupan sesungguhnya dimulai bukan saat mata terbuka, tapi saat jiwa pertama kali mendengar: detak jantung ibu, bisikan ayah, ayat Tuhan. Di telinga itulah cinta mula-mula ditanam. Dan kelak, suara-suara itulah yang akan menjadi kompas: apakah hidupmu menuju Nur, atau tenggelam dalam gema kosong dunia."
3. Basar -- Allah Maha Melihat
Al-Baar (Penglihatan): Cahaya Ilahi dalam Retina Manusia "Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Hujurat: 18). Mata manusia terbatas. Kita butuh cahaya untuk melihat. Tapi Allah melihat segalanya, meski dalam gelap, dalam hati, dalam diam.
Basar-Nya bukan hanya soal penglihatan, tapi juga pengawasan penuh kasih. Saat kita menangis dalam sunyi, saat kezaliman terjadi diam-diam --- yakinlah, Dia melihat.
Allah adalah al-Bar, Maha Melihat. Dalam sifat ini terkandung makna pengawasan, perhatian, dan kehadiran yang terus-menerus. Tak ada satu pun yang tersembunyi dari penglihatan-Nya, baik di langit maupun di bumi. Dalam konteks manusia, al-Baar menjadi kemampuan untuk melihat dunia, menangkap cahaya, membaca tanda-tanda, dan menjadi saksi atas kebenaran.
Ilmu Kedokteran: Proses Penglihatan pada Bayi
Secara biologis, sistem penglihatan manusia baru berkembang penuh setelah kelahiran:
- Saat lahir: Retina belum sepenuhnya berkembang. Bayi hanya bisa melihat dalam jarak sekitar 20--30 cm, cukup untuk mengenali wajah sang ibu saat disusui. Warna belum bisa dibedakan jelas; yang terlihat hanya kontras terang--gelap.
- Usia 2--3 bulan: Mulai mengikuti objek dengan mata. Perlahan kemampuan fokus dan pengenalan wajah berkembang.
- Usia 4--6 bulan: Penglihatan mendalam (depth perception) mulai terbentuk. Bayi bisa membedakan warna dan mulai mengoordinasikan gerakan mata dengan tangan.
- Usia 6 bulan ke atas: Penglihatan berkembang pesat. Bayi mulai mengamati lingkungan, belajar dari dunia visual.
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur." (QS. An-Nahl: 78)
Penglihatan disebutkan setelah pendengaran, menunjukkan urutan perkembangan sesuai fakta ilmiah dan spiritual. "Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Al-Hajj: 75)
Penglihatan bukan hanya alat indrawi, tapi juga cermin kesadaran batiniah. Dalam penglihatan manusia ada unsur kemampuan membedakan, membaca tanda-tanda kebesaran Tuhan, dan menyaksikan kebenaran. Sebab itu, banyak ayat Al-Qur'an menyuruh untuk "melihat" alam sebagai bentuk tafakur.
"Setelah bayi mendengar, ia mulai melihat. Bukan hanya bentuk dunia yang perlahan muncul dari kabut samar matanya, tapi juga bayang-bayang kasih sayang dan kehadiran. Al-Baar bukan hanya sekadar melihat --- ia adalah kesaksian jiwa. Kita melihat bukan sekadar dengan retina, tapi dengan rasa dan rasa syukur. Karena di balik penglihatan itu, ada pesan: bahwa Tuhan Maha Menyaksikan."
4. Kalam -- Allah Maha Berfirman
Al-Kalm - Berbicara: Suara Kehadiran dan Kesadaran "Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung." (QS. An-Nisa: 164)
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu berbahasa verbal dan simbolik secara kompleks. Kita bisa menyampaikan pikiran, emosi, dan gagasan lewat kata. Tapi Kalam Allah bukan sekadar ucapan. Kalam-Nya adalah wahyu, ilham, perintah, larangan, dan segala bentuk komunikasi Ilahi, langsung atau melalui perantara. Al-Qur'an adalah bentuk nyata Kalam Allah yang diabadikan, yang hingga kini memberi petunjuk dan cahaya.
Allah adalah al-Mutakallim, yang Maha Berbicara. Sifat kalm ini berarti bahwa Allah mampu menyampaikan kehendak-Nya secara jelas, tanpa suara atau huruf, tetapi dengan cara yang hanya dipahami oleh makhluk pilihan-Nya, seperti kepada Nabi Musa:
Dalam konteks manusia, kalm adalah karunia istimewa, karena hanya manusia yang dianugerahi kemampuan berbahasa, menyusun makna, menyampaikan isi hati dan pikiran. Kalm bukan hanya suara---ia adalah identitas kesadaran.
Dalam QS. Ar-Rahman ayat 3--4: "Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara."Â Dan dalam QS. Al-Baqarah: 31:"Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya."
Sifat kalm ini adalah bagian dari pengajaran ilahi. Berbicara bukan hanya kemampuan teknis, tapi juga alat untuk menyampaikan makna, kebenaran, dan kebijaksanaan.
Manusia bisa berkata-kata, tapi tidak semua bermakna. Dalam Islam, lidah menjadi cermin hati, dan kalimat bisa menjadi sebab keselamatan atau kebinasaan.
Rasulullah bersabda:"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim). Kata-kata bisa menjadi dzikir, doa, pujian---atau sebaliknya, menjadi dusta, cela, dan fitnah.
"Anak manusia menangis sebelum ia bisa berbicara. Tapi sejak tangisan pertama, ia membawa pesan: bahwa suara adalah hakikat eksistensi. Kalm bukan sekadar ucapan, tapi suara yang mewakili jiwa. Sebab itu, kata adalah cahaya yang bisa menerangi atau membakar. Dan manusia, sejak balita, adalah pengembara dalam semesta makna."
5. Ilmu -- Allah Maha Mengetahui
Al-'Ilmu - Pengetahuan: Fitrah untuk Mencari, Menyadari, dan Memahami "Dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah: 282)
Begitu lahir, bayi mulai belajar: mengenali suara ibunya, merespons sentuhan, lalu kelak memahami bahasa, realitas, hingga makna. Pengetahuan manusia bertumbuh, tapi selalu terbatas. Sedangkan Ilmu Allah tidak bertambah dan tidak berkurang. Ia sempurna, absolut.
Ilmu adalah anugerah Allah kepada manusia sebagai makhluk berakal. Tapi kemampuan berpikir bukanlah bukti kemandirian --- melainkan pengingat bahwa ilmu kita bersumber dari-Nya.
Allah adalah al-'Alm, Maha Mengetahui. Ilmu-Nya tidak terbatas ruang dan waktu, meliputi segala sesuatu yang tampak dan yang tersembunyi."Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah: 282)
Sifat ini menegaskan bahwa pengetahuan adalah bagian dari kesempurnaan ilahi. Dalam diri manusia, sifat 'ilmu menjadi cerminan kesadaran, keingintahuan, dan kemampuan berpikir yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah: 11)
"Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya." (QS. Al-Baqarah: 31). Manusia diberi fitrah pengetahuan, dan diperintahkan untuk mengembangkannya. Ayat pertama yang diturunkan pun menekankan pentingnya membaca dan belajar: "Iqra' bismi rabbika alladzi khalaq." Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan." Â (QS. Al-'Alaq: 1)
Ilmu dalam Islam bukan hanya akumulasi informasi, tapi jalan menuju ma'rifatullah---mengenal Allah. Maka, para ulama menekankan:"Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, amal tanpa ilmu adalah kesesatan."
Dan Rasulullah bersabda:"Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)
Dalam konsep neurosains dan kuantum, ada pandangan bahwa manusia menyimpan pengetahuan tidak hanya di otak, tapi juga melalui "memori seluler" --- termasuk di jantung. Ini menegaskan bahwa pengetahuan tidak hanya rasional, tapi juga spiritual dan emosional.
"Sejak suara iqra' menggema di gua Hira, sejarah manusia berubah: dari makhluk berjalan menjadi makhluk mencari. Ilmu bukan hanya pencapaian, tapi pengingat bahwa setiap manusia lahir dengan tugas menyusun makna dari semesta. Ia bertanya, mengamati, mencatat, dan kadang tersesat---karena itulah tanda bahwa ia masih belajar."
6. Iradat -- Allah Maha Berkehendak
Al-Irdah () --- Kehendak: Daya Pilih dan Kebebasan untuk Memilih Jalan "Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: 'Jadilah', maka jadilah ia." (QS. Yasin: 82)
Kita sering merasa bebas memilih. Tapi di balik semua kehendak manusia, ada satu Kehendak Agung yang mengatur segalanya. Iradat Allah menunjukkan bahwa segala sesuatu, termasuk hidup dan mati, rezeki, jodoh, bahkan rasa sedih ; Â terjadi karena kehendak-Nya, bukan semata-mata kemauan kita. Namun manusia juga diberi iradah terbatas: kehendak untuk memilih antara taat dan maksiat. Di situlah letak ujian kehidupan.
Allah adalah Msy'a, yang Maha Menentukan. Segala sesuatu di alam semesta ini tidak terjadi kecuali dengan kehendak-Nya. "Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: 'Jadilah!' maka jadilah ia." (QS. Y-Sn: 82)
Kehendak Allah mutlak, tidak dibatasi oleh ruang, waktu, atau sebab. Namun menariknya, dalam ciptaan manusia, Allah meniupkan sebagian sifat kehendak ini dalam bentuk kebebasan memilih.
Irdah dalam Diri Manusia: Fitrah Kehendak dan Pilihan
Sejak lahir, manusia memiliki kecenderungan (gharizah) untuk bertindak. Dalam perkembangan neurologis dan psikologis, munculnya keinginan dan kemampuan mengambil keputusan adalah tanda tumbuhnya kesadaran diri dan kehendak bebas.
Bayi menangis bukan hanya karena refleks, tapi karena ada keinginan yang tak terpenuhi. Anak-anak usia 2--3 tahun mulai mengatakan "tidak" sebagai ekspresi awal kehendak pribadi. Dewasa, manusia masuk ke fase kompleks: mengambil keputusan moral, eksistensial, dan spiritual.
Islam memandang manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab atas pilihannya, meski berada dalam takdir dan kehendak Allah. "Maka barangsiapa menghendaki, niscaya ia mengambil jalan kembali kepada Tuhannya." (QS. An-Naba': 39)
"Dan katakanlah: Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah dia kafir."Â (QS. Al-Kahfi: 29)
Dalam konteks ruhani, kehendak manusia adalah ladang ujian. Apakah ia akan memilih kebaikan atau mengikuti hawa nafsu? Rasulullah bersabda: "Orang cerdas adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah mati."
(HR. Tirmidzi)
"Di dalam dada manusia, ada pertempuran sunyi antara ingin dan pantas. Di sanalah letak irdah---bukan sekadar dorongan, tapi kehendak yang sadar. Setiap langkah manusia selalu berada di antara dua kemungkinan: maju atau mundur, memberi atau mengambil, menuju cahaya atau menuruti gelap."
7. Qudrat -- Allah Maha Kuasa
Al-Qudrah --- Kemampuan: Dari Omnipotensi Ilahi ke Daya Terbatas Insani. "Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah: 20)
Anak manusia belajar mengangkat kepala, duduk, berjalan, berlari. Semua gerak dan kekuatan tubuh adalah pantulan dari Qudrat Allah. Kita memiliki tenaga, tapi kekuatan itu bukan milik kita. Ia adalah pinjaman. Ketika sakit datang, ketika lumpuh mendera, barulah kita sadar bahwa tubuh ini tak berdaya tanpa izin-Nya.
Allah al-Qadr / al-Qawiyy / al-Muqtadir adalah Dzat yang Maha Berkuasa secara mutlak. Kekuasaan-Nya: Tidak mendahului kelemahan dan tidak diakhiri kelelahan. Tidak membutuhkan "energi cadangan". Meliputi penciptaan (ikhtir'), pengaturan (tadbr), dan pembalikan keadaan seketika.
"Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah: 20) "Dan Allah-lah Pemilik kerajaan langit dan bumi. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. li 'Imrn: 189)
Perbedaan ontologis: Qudrah Allah adalah dztiyyah (melekat, tak tercipta). Kekuatan manusia 'ridah (datang dan pergi), bergantung pada unsur biologis, psikologis, dan izin Ilahi.
Islam mengajarkan bahwa kekuatan digunakan untuk: Ibdah (shalat, puasa, jihadun-nafs). 'Imratul ard (membangun peradaban). Himyah (melindungi yang lemah)
Hadits:"Al-mu'minul qawiyyu khayrun wa aabbu ilallh minal mu'min adh-da'f; wa f kullin khayr..." "Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah; pada keduanya ada kebaikan..." (HR. Muslim)
La awla wa la quwwata ill billh menegaskan:"Tiada peralihan (dari maksiat ke taat) dan tiada kekuatan (menjalankan ketaatan) kecuali dengan Allah."
Kelemahan fisik (sakit, letih, luka) sering menjadi metode pendidikan tauhid --- meluruhkan ego yang mengira "aku mampu sendiri". Kekuatan sejati bukan hanya otot atau stamina, tapi: Keteguhan iman di tengah badai, Konsistensi ibadah, Kemampuan menahan diri (jihad an-nafs) "Dan bersabarlah; kesabaranmu itu hanya dengan (pertolongan) Allah." (QS. An-Nal: 127)
"Manusia baru merasa kecil ketika punggungnya tak lagi kuat menunduk dalam sujud panjang atau ketika tangannya bergetar menahan segelas air. Di situlah pelajaran Qudrah: kita tidak pernah berkuasa --- hanya diberi giliran menggunakan daya yang bukan milik kita. Detik itu juga, kesombongan runtuh dan kata 'Allahu Akbar' kembali terasa berat maknanya."
Cahaya Ketuhanan dalam Diri Kita
Ketujuh sifat ini bukan berarti manusia menyamai Allah; bukan tasybih (keyakinan atau anggapan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.), tapi tajalli ( Â "menyatakan diri", "memanifestasikan", atau "menampakkan diri secara simbolik atau pantulan.") Dalam istilah tasawuf, tajalli adalah penampakan atau manifestasi sifat-sifat Allah dalam ciptaan, bukan Dzat-Nya secara langsung.
Kita hidup karena ada Hayat-Nya. Kita tahu karena ada Ilmu-Nya. Kita mampu karena ada Qudrat-Nya. Kita memilih karena ada Iradat-Nya. Kita melihat dan mendengar karena Basar dan Sama'-Nya. Kita berbicara karena ada Kalam-Nya.
Jkt/21072025/Ksw/138
Kusworo : "Pencari jejak Tuhan dalam narasi kehidupan. Menulis dari ruang refleksi antara dunia dan akhirat."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI