Sebelum berangkat, saya sudah koordinasi dengan supir bus dan local guide yang membantu diri ini. Agar mengupayakan mencari, meneliti jalan di tengah gurun yang telah dilalui saat pergi. Tepatnya di posisi di mana kegiatan berjamaah yang tak biasa terjadi. Pipie. Ya…tempat pipie itu lah yang sekarang menjadi sasaran tujuan kami.
Saya sampaikan apa yang sedang terjadi kepada Beliau yang sedang bergundah hati. Bahwa “team ekspedisi” sedang dalam misi pencarian Handphone yang hilang. Wajahnya terlihat semangat lagi. Karena harapan yang mungkin terjadi. Badannya mulai tegak tak membungkuk lagi seperti tadi. Terlihat penuh semangat. Semangat mencari.
Kami pun sigap meneliti. Memandang gurun yang membentang di kiri kanan jalan. “Coba focuskan di sisi kiri. Ini sisi dimana kita tadi pipie” Sang driver mulai meneliti jalan, dibantu local guide. Semua sibuk memandang dari kaca bus. Memandang hamparan pasir kuning keputihan gurun Sahara.
Satu kali dicoba berhenti. Sambil mengingat-ingat ini kah lokasinya. Tiga orang lelaki turun dari bus mencaba mencari lokasi, namun kembali,sambil berkata,”bukan…bukan disini…” yang dibenarkan oleh temannya. “Iya bukan di sini”. Bus berjalan lagi. Kemudian bus berhenti lagi. Dan hal yang samapun terjadi lagi
Bus berjalan dengan pelan namun pasti, didalamnya semua orang sekan berperan sebagai mata elang yang siap menyerang. Focus pada pasir gurun yang tandus. Tiba-tiba dari belakang terdengar seorang Bapak, “itu…itu di sebelah situ” Antara yakin dan keliru saat ini bedanya tipis. Tapi kesempatan ini tak akan kami tepis. “Ok, kita turun dan kita cari”
Bus berhenti dan “team eksepedisi pencari Handphone” pun berlari. Menyebrang jalan lalu lari ke gurun. “Tepat… tepat sekali. Inilah lokasi kita pipie tadi.” Ada pantulan cahaya seakan keluar dari pasir. Cahaya Chasing Handphone yang memantulkan sinar matahari. Seseorang mengambilnya. Dan terlihatlah sebuah Handphone yang sedang kami cari. Handphone yang telah membuat tuannya sedikit sedih hati.
Wajah cerah dan senyum sumringah terlihat di wajah Beliau, menerima handphone barunya yang hilang sementara. Handphone terlepas dari dari genggamannya walau hanya sepenggal waktu. Tapi sudah lah…yang berlalu biar berlalu.
Digenggamnya dengan hangat handphone yang baru ditemukan itu. Tapi memang sesungguhnya Handphone itu terasa hangat, karena dirinya telah berjemur matahari dari pagi, di Gurun Sahara. Sendiri, menunggu sang tuan kembali. “Oh…benar.. ternyata dia kembali”. (Mungkin itu yang dirasakan sang handphone, seandainya dia bisa mengadu. Mengadu pada angin lalu).
Laksana baru memenangkan perang, mereka pun melangkah kembali. Semua lelaki paruh baya itu berjalan gagah dengan semangat penuh. Ingin segera menunjukkan prestasi yang baru saja di raih. Memang rasanya mustahil menemukan sebuah benda yang tertinggal di Gurun Sahara yang luas; yang letak titik hilangnya tak diketahui; yang bentuk posisinya sama disemua sisi. Ini memang prestasi yang sulit diraih.
Namun setelah kondisi tenang dan sang empunya handphone yang hilang; berucap terima kasih pada semua serta syukur pada Sang Kuasa; kami semua menyadari ini bukanlah sebuah prestasi. Ini karunia Illahi.
Karunia yang diberikan kembali karena Beliau ihklas menerima cobaan sementara ini, saat handphone barunya diambil sementara dari genggamannya; saat kalimat “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” (Sesunggunya kami milik Allah dan hanya kepada Allah lah kami kembali) diucapkannya dengan tulus. Dan menyerahkan urusannya kepada Allah sambil terus berusaha. Itulah Iman yang sempurna.