Mohon tunggu...
Kusuma Wardhani
Kusuma Wardhani Mohon Tunggu... -

merenung, adventure,baca, love cooking chocolate cake,chocolate...hot chocolate..

Selanjutnya

Tutup

Money

Peliknya Menjadi Wirausaha

17 Januari 2012   02:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:48 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia, menyebabkan angka pengangguran semakin bertambah setiap tahun. Pemerintah juga nyaris kewalahan untuk mengatasi pengangguran tersebut. Meskipun angka-angka resmi yang dikeluarkan pemerintah menunjukkan adanya perbaikan dalam penyerapan angkatan kerja, toh di lapangan, masih banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan formal, seperti yang diharapkan pemerintah  Lagipula, tidak mungkin pula bagi pemerintah menjadikan seluruh pengangguran menjadi PNS. Kalau hal ini terjadi tentu saja anggaran belanja pemerintah semakin berat. Saat ini pemerintah mengajak masyarakat agar   bersedia melakukan wirausaha, dengan harapan langkah ini dapat mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia.  Sementara itu, dunia pendidikan kita meski sedikit terlambat mengantisipasi, mulai membuat kurikulum berbasis wirausaha, dengan harapan lulusan-lulusan baru dari dunia pendidikan bisa mencoba membuka lapangan pekerjaan.   Dukungan untuk berwirausaha juga muncul dari pihak perbankan yang ikut berperan  melalui  program pinjaman lunak, bagi para wirausahawan.

Namun, ajakan pemerintah agar  masyakarat mau menjadi wirausaha hanyalah teori, sementara di lapangan kenyataan sangat berbeda. Berbagai pungutan liar sangatlah banyak. Alih-alih, para wirausahawan dipermudah untuk mengurus perijinan, malah dibebani pengeluaran yang seharusnya bisa nol. Seorang sahabat yang baru mulai merintis usaha kuliner, mengatakan bahwa, untuk mengurus ijin SIUP, di tingkat kelurahan saja sudah dimintai uang ratusan ribu rupiah, tanpa diberi bukti bayar berupa kwitansi atau nota resmi dari pihak kelurahan. Tentu saja, mereka menolak memberikan bukti bayar karena uang tersebut tidaklah masuk kedalam kas negara atau kas daerah, tapi masuk kedalam kantong pribadi masing-masing. Pungutan ini akan sampai ke jenjang atas, termasuk di tingkat kecamatan. Pihak kecamatan masih akan meminta biaya tanda tangan bagi petugas, sekretaris, hingga camat.  Ini baru urusan SIUP, sementara untuk membuat Tanda Daftar Perusahaan atau TDP  juga demikian. Tidak ada tulisan tariff  resmi yang dipajang untuk memberi informasi kepada kita, berapa biaya yang wajib kita bayarkan.  Perilaku petugas pelayanan seringkali membuat jengkel, karena sering tidak berada ditempat pada saat jam kerja. Jawaban yang diberikan teman kerja mereka seringkali juga sangat tidak professional. Pengalaman teman yang sedang mengurus ijin P-IRT untuk usaha snack kecilnya, mengatakan bahwa ketika mencari petugas yang bertanggung jawab mengurus hal tersebut sedang keluar kantor, disarankan rekannya untuk menunggu. Lebih dari satu jam menunggu, namun akhirnya rekan kerja mereka malah mengatakan bahwa petugas yang dimaksud sudah pulang setelah makan siang.

Menjadi wirausaha di Indonesia memang membutuhkan ketahanan mental, belum memikirkan produksi dan pemasaran, menghadapi perilaku dan kinerja petugas pelayanan perijinan saja sudah senewen. Mungkin pemerintah pusat dan daerah perlu bekerja lebih keras lagi membuat program   yang memudahkan pelayanan bagai calon wirausaha dan mendidik perilaku “anak buah” mereka di lapangan. Dengan demikian para wirausaha merasa nyaman untuk mengembangkan usaha mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun