Kita sering mendengar cerita hidup seseorang yang memiliki pandangan akan apa yang dipikirkan, dijalani dan dirasakannya, meskipun itu sesuatu yang buruk, namun dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa. Bahkan meskipun hal itu merupakan keburukan yang nyata, tapi karena sudah terjadi umum dalam suatu komunitas, atau kelompok masyarakat, berbangsa dan bernegara, maka hal tersebut seolah-olah berubah menjadi baik.
Seseorang yang menginginkan dirinya bekerja sebagai PNS, sudah menganggap lumrah dan biasa jika harus mengeluarkan uang sebesar puluhan juta rupiah agar dapat lolos dalam test penerimaan CPNS nya. Lalu Ketika seseorang menjadi PNS dan menjadi pejabat misalnya, dianggap biasa jika dia secara rakus merampok uang rakyat demi syahwat dirinya untuk menjadi kaya raya. Dia bisa atur nomenklatur anggaran, utak-atik APBD, bermain SPPD, hingga setoran fee proyek, dan itu pun sudah dianggap sesuatu yang biasa dan lumrah.
Seorang politisi atau anggota DPRD di berbagai tingkatannya, jika dia dalam menjalankan tugasnya tersebut diberi ruang mengatur anggaran, maka jatah anggaran dari apa yang disebut sebagai dana aspirasinya itu, bisa secara bebas dia jual kepada pengusaha, entah itu dalam bentuk program, proyek, atau bantuan sosial lainnya. Hal itu pun sudah dianggap lumrah dalam sistem dan gaya politik saat ini.
Seseorang yang sudah memiliki anak dan istri, jika diluaran bermain-main dengan perempuan yang lain, pergi ke tempat hiburan, membeli wanita tuna susila, lalu berzina, maka hal itu pun seperti sudah dianggap lumrah dan biasa. Seolah bahwa jika lak-laki melakukan praktik seperti itu amatlah wajar. It's Ok..!
Segala praktik keburukan yang hadir dan membudaya di sekeliling kita hari ini, sepertinya sudah mendapatkan penilaian yang lumrah dan biasa. Saya koq merasa miris dengan sebuah keterangan dari baginda Rasulullah SAW " Takkan pernah berkumpul ummatku dalam keburukan yang berjama'ah". Jika sudah begitu, apakah memang kehidupan kita saat ini sudah tidak lagi mencerminkan akhlak Rasulullah?
Lalu ummat siapakah kita saat ini? apakah kita sudah terpenjara dalam sebuah patologi modernisme yang selalu mendewa-dewakan hal yang berbau materialisme? Sehingga demi nilai material atau angka rupiah, kita tidak lagi mempertimbangkan baik dan buruknya.
Tepat kiranya jika kita membaca Syi'ir Ronggowarsito bahwa saat ini kita hidup dalam zaman edan, siapa yang tidak ikut edan dia tidak akan pernah kebagian.....Padahal dengan potensi akal dan hatinya, manusia diberi guidance oleh Tuhan sang pencipta, untuk dapat memilah dan memilih antara kebaikan dan keburukan.
Maka memang sudah saatnyalah, jika ummat penghuni negri ini sudah tak lagi mampu membedakan mana baik mana buruk, senang dan tenang dalam alur pembangkangan pada sang khalik, maka Tuhan akan menurunkan dan menjelaskan secara terang benderang akan betapa dahsyatnya kekuatan dan kekuasaan yang Tuhan miliki menyangkut alam dan seluruh isinya. Sehingga Bumi digoncangkan, apakah melalui gempa, tsunami atau apapun sejeninya yang ternyata manusia tak (belum) mampu mengatasinya....
Yaa Rabbana. Arinal haqqa haqqa warzukna at thiba'ah, wa arinal bathila , baathila warjuknaj tinaabah..Tuhan kami tunjukanlah jalan kebenaran, dan berilah aku kekuatan untuk mengikutinya, Dan tunjukanlah segala hal buruk pada ami, serta berilah hamba kekuatan untuk menjauhinya...amiien.