Mohon tunggu...
Usman Kusmana
Usman Kusmana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang Lelaki Biasa Dan Pegiat Sosial Politik

Menulis itu kerja pikiran, yang keluar dari hati. Jika tanpa berpadu keduanya, Hanya umpatan dan caci maki. Menulis juga merangkai mozaik sejarah hidup, merekam hikmah dari pendengaran dan penglihatan. Menulis mempengaruhi dan dipengaruhi sudut pandang, selain ketajaman olah fikir dan rasa. Menulis Memberi manfaat, paling tidak untuk mengekspresikan kegalauan hati dan fikir. Menulis membuat mata dan hati senantiasa terjaga, selain itu memaksa jemari untuk terus bergerak lincah. Menari. Segemulainya ide yang terus meliuk dalam setiap tarikan nafas. Menulis, Membuat sejarah. Yang kelak akan dibaca, Oleh siapapun yang nanti masih menikmati hidup. Hingga akhirnya Bumi tak lagi berkenan untuk ditinggali....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Belajar Hidup dari Mas Amar Si Tukang Bubur Ayam

21 November 2012   03:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:57 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski tak menghadiri Kompasianival 2012. Selama 2 hari kemarin (Senin-Selasa) saya berada di Jakarta. Saya tiba di Jakarta Senin pagi sekitar pukul 05.30 untuk beberapa keperluan. Saya berkunjunga ke Rumah paman saya di daerah Tomang, tempat dulu  selama 7 tahun saya tinggal semasa kuliah.

Saya selalu kangen makanan khas yang dulu biasa saya santap. Baso Mas Tarno, Bubur Ayam Mas Amar dan Ketoprak. Saat pertama kali ke Jakarta tahun 1995 saya sudah mengenal mereka-mereka itu. Kini setelah lebih 17 tahun mereka masih tetap ada dan mangkal di dekat kios warung paman saya tersebut.

Roda dagangan mereka sama, wajah-wajah mereka pun kelihatan masih tetap seperti 17 tahun yang lalu. Mereka masih tetap segar dan semangat, wajah hangat dan sumringah saat bertemu dan bertegur sapa.

Saya langsung memesan semangkuk bubur ayam Mas Amar bersama supir saya. Sambil bersantap bubur plus sate jeroan ayam ati ampelanya, Mas Amar ngajak ngobrol saya.

" Dalam rangka apa mas ke Jakarta? "Tanya dia

" Ada urusan aja" Jawabku


" Hebat yaa sekarang dah sukses" Ungkap Mas Amar

" Akh biasa aja. Mas Amar Roda masih satu yaa dari semenjak dulu ? Trus wajahnya koq masih sama aja kayak dulu, padahal dah 17 tahun yang lalu aku kenal mas Amar" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

" Yang penting di syukuri dan barokah mas, dari dulu dah 25 tahun saya jualan bubur di Jakarta, saya tetap jualan dengan satu gerobak bubur ini. Yang penting sehat, anak-istri dinafkahi halal dan rumah tangga rukun terus, anak-anak bisa sekolah, itu saja" kata Mas Amar

Ungkapan Mas Amar si Tukang Bubur itu membuat saya agak merenung. Bayangan saya dan pemahaman saya selama ini, seorang pedagang itu dianggap sukses kalau selama berdagang itu dia teru berkembang, mengalami kemajuan. Tadinya jualan bubur dengan gerobak satu, perjalanan waktu bisa nambah misalnya, entah 2 gerobak, 5 atau sepuluh gerobak dengan beberapa anak buah.  Sebagaimana banyak terjadi dengan beberapa pedagang makanan lainnya, seperti siomay, mie ayam dll.

Tapi Mas Amar ternyata tidak memiliki bayangan ikhtiar mencari nafkah hidup seperti itu. Bagi dia yang penting Tuhan memberikan jalan baginya untuk berusaha, mencari penghidupan dengan cara berdagang bubur, dia menjalaninya dengan senang hati, lapang pikiran, ikhlas demi nafkah anak dan istri. Memang ada kemajuannya, dulu dia tak punya motor, sekarang dia katanya punya motor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun