Mohon tunggu...
adwin kurniawan
adwin kurniawan Mohon Tunggu... Lainnya - Student

Reading

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sri Sultan Hamengku Buwono X: Pemimpin Simbolis dan Politis

27 September 2023   22:49 Diperbarui: 28 September 2023   07:15 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Govt. of Yogyakarta - Hamengkubuwana X (wikipedia.org)

Takdir hidup Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat jauh lebih panjang dari penjajahnya, Vereenigde Oostindische Compagnie. Bahkan kepemimpinan raja-raja Mataram dan pewarisnya di tanah Jawa sudah membentang lebih dari 400 tahun dan bertahan melewati masa kolonialisme.

Selasa Wage, 7 Maret 1989, sekitar 2000 tamu dari dalam negeri maupun mancanegara telah bersiap di Siti Hinggil sejak pagi, untuk menyaksikan Bendara Raden Mas Herjuno Darpito dinobatkan menjadi Sultan Hamengku Buwono X. Salah satu raja Jawa yang dilantik di zaman Republik Indonesia.

Sebagai bagian integral dari Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono X memimpin Daerah Istimewa Yogyakarta melewati masa pemerintahan Republik Indonesia yang silih berganti dari presiden Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo.

Bagaimana seorang raja, yang mempunyai peran ganda sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan Indonesia dan juga raja yang menjadi simbol kebudayaan Jawa ini bertahan di zaman republik yang mengusung nilai-nilai demokrasi dan berlangsung hampir 40 tahun? 

Tentu saja falsafah kepemimpinan dan kebudayaan Jawa menjadi cakrawala pandang yang meresap dalam diri Sri Sultan HB X. Budayawan dan akademisi Suwardi Endraswara menuliskan bahwa dalam kepemimpinan Jawa, orang cenderung menonjolkan figur kepemimpinan daripada sistem kepemimpinan. Gambaran ini juga tampak dalam gelar raja Jawa yang menggenggam semua aspek pemerintahan dari sosial dan pemerintahan dengan ungkapan "berbudi bawa leksana, bau dendha nyakrawati" yang berarti pemurah laksana angin, yang menghukum dan menyempurnakan. (Endraswara 2013, 6)


Tetapi esai ini tidak akan melihat jauh ke dalam falsafah Jawa, justru akan melihat bagaimana kepemimpinan Sri Sultan HB X dalam sudut pandang barat dan dalam Four Frames of Leadership yang digagas oleh Joe Zolner, seorang profesor dari universitas Harvard yang berkecimpung di bidang edukasi.

Zolner membagi kepemimpinan dalam 4 kerangka: Simbolis, Politis, Struktural dan Sumber Daya Manusia. Namun esai ini menjabarkan kepemimpinan Sri Sultan HB X dalam pemahaman Simbolis dan Politis.

Kepemimpinan Simbolis Sri Sultan Hamengku Buwono X

“kerangka simbolis fokus pada bagaimana mitos dan simbol membantu manusia memahami dunia yang kacau dan ambigu dimana mereka hidup. Makna, kepercayaan dan agama menjadi pusat perhatian” (Bolman & Deal, 2017, 236)

Sri Sultan HB X  memimpin Yogyakarta dan masyarakat Jawa yang saat ini telah terintegrasi dalam Indonesia. Dalam sebuah acara di kompleks kantor Gubernur Yogyakarta untuk memperingati satu dasawarsa UU Keistimewaan DIY, Sri Sultan HB X menyampaikan retorika yang sebenernya merupakan intisari dari integrasi Jogja dan Jawa ke dalam Indonesia.

Dalam pidatonya, Sri Sultan HB X mengatakan “bahwa untuk memberi sumbangsih dan menjadi wong Jogja, tidaklah harus lahir di Jogja dan atau memiliki keturunan Jawa... sudah semestinya, keistimewaan Jogja adalah untuk Indonesia. Bahwa menjadi Jogja, adalah menjadi Indonesia” (Kumparan, 31/8/2022)

Hal tersebut menegaskan kembali bagaimana pendahulunya, Sri Sultan HB IX memimpin entitas nagara agung Yogyakarta masuk dalam semangat revolusi kemerdekaan Indonesia. Kalimat yang diucapkan Sri Sultan HB X tersebut mengungkap realita yang disampaikan secara simbolis tentang bagaimana zaman telah membawa masyarakat Jawa dan Yogyakarta melebur dalam Republik, dalam makna, nilai dan mitos baru tentang kebangsaan dan cita-cita ke-Indonesia-an yang multikultural dan bhinneka.

Secara lebih khusus, Sri Sultan HB X juga menegaskan kembali nilai-nilai baru tersebut dalam “Pancamulia”, sebuah visi-misi dalam memimpin Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri Sultan HB X menyatakan bahwa tujuan akhir itu adalah kesejahteraan segenap rakyat Yogyakarta dalam basis budaya.

Selain simbol-simbol kebudayaan Jawa yang melekat pada diri seorang Sri Sultan HB X, ke-Indonesia-an adalah simbol dan nilai baru yang terus ditanamkan dalam kepemimpinan Sri Sultan HB X. Secara simbolis Sri Sultan HB X menunjukan arah kedepan yang hendak diwujudkan.

Sri Sultan Hamengku Buwono X Melibatkan Diri Dalam Nafas Politis

Deklarasi Ciganjur, November 1998 (Repro buku Gerak dan Langkah) | Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id
Deklarasi Ciganjur, November 1998 (Repro buku Gerak dan Langkah) | Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id

“Pemimpin yang efektif menciptakan agenda perubahan, dengan dua elemen utama: visi yang menyeimbangkan kepentingan jangka panjang banyak pihak dan strategi untuk mencapai visi seiring memahami kekuatan internal maupun eksternal yang saling berkompetisi” (Kolter dalam Bolman & Deal 2017, 203)

Betapa banyaknya pemberitaan mengenai peran dan persinggungan Sri Sultan HB X dengan dunia politik di Indonesia terutama menjelang reformasi hingga saat ini. Hal tersebut tidak lepas dari sepak terjang dan otoritas yang diemban Sri Sultan HB X.

“otoritas adalah hal penting bagi setiap orang yang berada di jabatan formal karena kontrol sosial bergantung pada hal tersebut” (Bolman & Deal 2017, 191)

Dengan kemampuannya membaca panggung politik Indonesia, Sri Sultan HB X mengontrol kondusifitas dan meredam dampak buruk dari gelombang reformasi 98 terutama di wilayah Yogyakarta. Pada periode tersebut Yogyakarta menjadi salah satu pusat gerakan reformasi. Banyak akademisi, aktivis, seniman, tokoh intelektual dan tokoh masyarakat yang berbasis dan tinggal di Yogyakarta terlibat aktif dalam mematangkan gerakan reformasi melawan Orde Baru tersebut. Sebagai Gubernur, Sri Sultan HB X memainkan kekuasaan politik dan menggerakan tangan-tangan dan elemen-elemen politiknya untuk mengayomi dan menenangkan situasi keamanan dan ketertiban di Yogyakarta.

Pada 20 Mei 1998, di depan ratusan ribu rakyat, mungkin lebih, tepat di depan Pagelaran Keraton Yogyakarta, Sri Sultan HB X mengeluarkan maklumat yang mendukung gerakan reformasi. Sejumlah tokoh seperti Rektor UGM Ichlasul Amal mendampingi Sri Sultan HB X kala itu.

“Koalisi adalah alat untuk mempraktekan kekuasaan” (Bolman & Deal 2017, 184)

“Sebuah koalisi terbentuk karena anggota-anggotanya saling membutuhkan. Meskipun kepentingan-kepentingan mereka mungkin saja saling tumpang tindih” (Bolman & Deal 2017,  185)

Namun Indonesia waktu itu memiliki banyak sekali pemimpin-pemimpin dengan organisasi yang beragam di kancah nasional. Sri Sultan HB X juga menjadi salah satu tokoh penting dalam deklarasi Ciganjur, dimana beliau dilihat sebagai tokoh yang membawa kepentingan sosial dan kultural di Indonesia. Deklarasi tersebut menjadi salah satu komitmen penting bagaimana semangat reformasi 98 tidak akan melibatkan unsur Orde Baru. Sebagai pemimpin kultural sekaligus politik, Sri Sultan HB X melibatkan diri dalam sebuah proses politik dan koalisi dengan sejumlah tokoh penting lainnya: Megawati dengan PDI, Gus Dur dengan NU dan Amin Rais.

Setidaknya reformasi 98 telah menunjukan bagaimana kepemimpinan politis Sri Sultan HB X telah sukses merangkul lautan manusia dan membangun konsolidasi dengan elit-elit. 

“Aktifitas politik lebih terlihat dan dominan didalam kondisi yang beragam dibandingkan dalam kondisi yang seragam. Kesepakatan dan harmoni lebih mudah dicapai ketika setiap orang berbagi nilai, kepercayaan dan pandangan kultural” (Bolman & Deal 2017, 185)

Masa-masa awal Orde Reformasi menjadi bukti bahwa Megawati, Gus Dur dan Amien Rais berhasil memegang kekuasaan di Jakarta. Sementara itu Sri Sultan HB X kembali ke Yogyakarta. Sri Sultan HB X harus mengemban tugas sebagai raja Jawa, namun dinamika sejarah Indonesia justru menjadi alur utama, yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung keberlangsungan kepemimpinan keraton Yogyakarta Hadiningrat. Justru melalui dinamika multidimensi seperti inilah kepemimpinan raja Jawa harus melangkah secara luwes dan adaptif dalam mengemban dan memangku semangat zaman.

Daftar Pustaka

Bolman, L., & T, Deal. (2017). Reframing Organizations, 6th edition. Jossey-Bass.

Endraswara, S. (2013). Falsafah Kepemimpinan Jawa. Narasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun