Mohon tunggu...
Kurnia ApriyaniGulo
Kurnia ApriyaniGulo Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca, Menulis, Menonton, Travelling

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dimulai dari Akhir Dilihat dari Sekarang

29 September 2022   14:53 Diperbarui: 29 September 2022   14:58 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Annyong haseyo!" Akhir-akhir ini, telinga saya menjadi akrab dengan kata sapaan itu, yang artinya "hai, apa kabar?" dalam bahasa Korea. Banyak siswa-siswi saya yang menggunakan kata itu sejak mereka menonton film-film drama Korea yang diputar di televisi. Selain itu banyak juga tambahan kosakata baru seperti "Kamsahamnida," (terima kasih), "Mianhamnida" (saya minta maaf), "Sarang haeyo," (I love you), "Jeo/na" (saya/aku), " Dhangshin/neo" (anda/kamu), "Abeoji/appa" (ayah/papa), "Eomeoni/eomma" (ibu/mama), "Ne" (iya), "Aniyo" (tidak), "Yoboseyo" (hallo, saat menjawab telepon), "Aigoo" (aduh)  dan sebagainya. 

Berdasarkan hasil observasi saya terhadap sejumlah pelajar di SMA Negeri 1 Gunungsitoli 75% diantara mereka kerap sekali menggunakan kata-kata tersebut dalam komunikasi mereka sehari-hari baik lisan maupun tulisan di berbagai jejaring sosial seperti facebook dan twitter.  Siswa-siswi saya  (terutama yang perempuan) kerap sibuk membahas aktor-aktor drama Korea yang katanya lucu dan ganteng, menghafal lagu-lagu soundtrack-nya, bahkan ada pula yang keranjingan membahas semua hal yang berbau Korea mulai dari masakan, pakaian, bahasa, model rambut dan gaya hidup.  Dari observasi saya hal ini telah terjadi di komunitas-komunitas pelajar sejak tahun 2010 dan semakin berkembang dari tahun ke tahun.

 
Korea Selatan adalah salah satu pemain baru yang sukses memasok produk-produk budayanya di pasar global. Gelombang kebudayaan modern Korea atau yang sering disebut Hallyu sejak tahun 1990-an telah menyapu banyak negara di Asia dan kawasan lainnya. 

Di Pulau Nias sendiri, gelombang Hallyu mulai dirasakan sejak tahun 2000-an ketika film-film Korea banyak diputar di televisi nasional serta semakin mudah mendapatkan CD/VCD/DVD film Korea tersebut dan  sambutan dari para pemirsa diwakili dengan kata "wah........luar biasa, amazing, so sweet, membuat saya terharu, saya sampai menitikkan air mata, saya bahkan sudah menontonnya sampai 5 kali ". Sebelum diterjang oleh gelombang Korea, daerah kita juga sudah diterjang lebih dahulu oleh gelombang India, Jepang, Eropa, Latin, dan tentu saja Amerika. Maka berbagai respon pun bermunculan menanggapi terjangan budaya asing tersebut.

Selama ini, yang selalu diulang-ulang kepada kita adalah seruan untuk waspada terhadap globalisasi dan ekspansi budaya global. "Hati-hati terhadap bahaya westernisasi!", "Lindungi generasi muda dari pengaruh buruk budaya asing!". Seruan semacam itu pada dasarnya tidak salah, karena merupakan suatu usaha untuk mempertahankan budaya dan identitas kita. Sosiolog Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa "ciri-ciri bangsa yang kalah adalah terjadinya imitasi massal terhadap cara hidup bangsa pemenang seperti dalam model pakaian, kendaraan, gaya arsitektur, jenis makanan, bahasa, hingga pemikiran dan adat kebiasaan". 

Apa yang dikatakan beliau relevan dengan ciri-ciri yang terlihat di lingkungan pelajar di Kota Gunungsitoli pada khususnya dan Pulau Nias pada umumnya yang terkatung-katung dalam peta kebudayaan global. Ya, kita sedang kalah. Tapi resistensi dan sikap-sikap defensif yang cenderung menutup diri juga tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena suka atau tidak suka globalisasi telah sampai di rumah-rumah kita. Ketakutan yang berlebihan terhadap ekspansi budaya global hanya makin menunjukkan bahwa kita adalah daerah yang inferior, yang selalu menjadi objek paparan budaya asing tanpa mampu berbuat apa pun. Maka strategi bertahan yang paling tepat adalah dengan menjadi bagian yang signifikan dari arus globalisasi itu sendiri.

Globalisasi budaya identik dengan budaya pop dan postmodernisme yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah. Budaya pop awalnya merupakan hegemoni budaya Barat (terutama Amerika), ditandai dengan merebaknya gaya hidup Amerika melalui industri budayanya seperti musik, olahraga,  fastfood, mode pakaian, dan film-film Amerika yang telah sampai ke rumah-rumah masyarakat Gunungsitoli khususnya dan pulau Pulau Nias pada umumnya, namun kondisi ini pun tidak selalu statis. Sesuai sifatnya yang fleksibel dan berubah-ubah, budaya pop menjadi sangat terbuka untuk diisi oleh budaya mana pun.

Globalisasi budaya memungkinkan dibukanya restoran dengan chinese food Kentucky, bahkan ada beberapa butik di Pulau Nias yang menyediakan pakaian-pakaian ala korea.  Jauh dari Ibukota Negara, dan minimnya toko yang menyediakan busana ala Korea bukan menjadi halangan bagi para remaja di pulau Nias untuk mendapatkan  pakaian, assesories ala korea, belanja online adalah solusinya.  Terus terang saat ini saya tidak mampu berbuat banyak selain berusaha menikmatinya. Dalam situasi seperti ini, pilihannya hanya mempengaruhi dan dipengaruhi. Jika kita tidak mampu menghindar dari pengaruh, mengapa kita tidak ikut memberi pengaruh?.   Karena itu, sudah saatnya kita bersikap serius untuk terjun dalam globalisasi budaya dan turut membawa kebudayaan kita kepada dunia luar.
 

Hal yang harus kita tentukan mula-mula ialah definisi kebudayaan kita sendiri. Apa itu budaya Pulau Nias? Lompat batu, tari moyo, tari ya'ahowu, tari fameafo, tari saembu, tari nihela,  maena, hendri-hendri/hoho, rangkaian kegiatan adat pada acara pernikahan, daftarkan satu per satu baik budaya tradisi maupun kontemporer, baik budaya kongkrit maupun abstrak. Sebelum mulai menyebarkan budaya, kita perlu mengenali dulu budaya kita. Ini penting terutama ketika kita berurusan dengan masalah hak cipta, kekayaan intelektual dan kekayaan budaya. 

Budayawan Jepang Yamada Shoji mengatakan bahwa "ada dua hal yang bertentangan dalam budaya yakni perilaku 'memiliki' sekaligus 'menyebarkan'.  Paradoks ini kita temui tatkala terjadi saling klaim atas suatu budaya seperti yang dialami oleh bangsa kita akhir-akhir ini dengan Malaysia. Ini menjadi satu kesulitan tersendiri, karena di satu sisi kita semestinya bangga terhadap luasnya penyebaran budaya kita, tapi di sisi lain kita merasa hak milik kita dirampas karena hal tersebut harus memperhatikan berbagai UU Perlindungan Budaya yang telah ada selayaknya dimaksimalkan.

 
Elegi saat ajang pemilihan miss word  8 September 2013 yang berlangsung di Hotel Westin Nusa Dua Bali dimana kegiatan tersebut disiarkan di stasiun televisi di 160 negara, pada acara pembukaan dan penutupan 129 orang kontestan mengenakan baju/busana adat daerah-daerah di Indonesia, baju adat Nias "tidak ada".  Siapakah yang salah? sistemkah yang salah? ataukah masyarakat Pulau Nias sendiri yang tidak peduli dengan budayanya? ataukah generasi mudanya yang sedang ditulari oleh wabah korea, India, Jepang, Amerika dan western, sehingga budaya daerah sendiri seolah-oleh tidak ada walaupun ada? ataukah pemerintah melalui Dinas Pariwisata yang tidak mempromosikan budaya Pulau Nias?.  Sekarang ini bukan lagi masanya untuk menuding dan mencari tahu siapa yang salah tetapi marilah bersama berusaha membuat Pulau Nias dikenal di seluruh daerah di Indonesia bahkan di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun