Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Darah di Dalam Tubuh Bayiku

30 Januari 2020   22:45 Diperbarui: 30 Januari 2020   22:59 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari itu aku menemaninya ke Makassar, ada acara festival melibatkan tunanganku sebagai narasumber, kami empat hari di sana. Dua hari pertama aku disibukkan dengan kegiatan Faisal. Dua hari berikutnya kami menyambangi Bulukumba, ada Tanjung Bira yang sayang untuk kami lewatkan mumpung ada di Sulawesi Selatan.

Karena aku di Sulawesi, teringatlah satu nama; Pandara Allo. Seolah embusan angin membawa kenangan tentangnya merasuk ke dalam ruang-ruang ingatanku. Sehingga aku kekeh untuk menunda kepulangan. Kukatakan kepada Faisal aku hendak ke Toraja, padahal aku menyambangi kampung halaman Pandara Allo, di bagian barat Sulawesi. Aku masih mengingat alamatnya, kutahu ketika masih  kuliah dulu. Suatu perjudian memang, bagaimana kalau aku tidak bertemu dengan Pandara Allo? Sempat terlintas pertanyaan itu dalam perjalanan panjangku di atas bus malam.

Usahaku membuahkan hasil. Belasan jam setelah meninggalkan Makassar, sampailah aku di sebuah desa enam puluh kilometer di utara Mamuju. Setelah sempat bertanya kesana-kemari, akhirnya aku benar-benar menginjakkan kaki di sebuah rumah panggung, rumah Pandara Allo. Kolong rumah itu diubah menjadi ruang baca, sesak oleh buku.

Aku melihat kembali sosok itu. Rambutnya ikal panjang sebahu, jenggot, kumis dan cambang saling menyatu, belum lebat betul. Permukaan kulitnya semakin cokelat oleh matahari. Ia terkejut melihatku pertama kali ketika aku menaiki rumahnya dan berdiri di depan pintu. Wajahku sudah begitu familiar olehnya, sekalipun ada jarak waktu yang bisa dibilang panjang sehingga pertemuan kembali terjadi, ia tidak akan kewalahan mengenaliku.

"Aku seolah mimpi, si cantik ini kembali terlihat olehku." Aku dibuat tertawa karena ucapannya.

"Apakah sekarang masih termasuk top enam di dunia?" candaku.

"Bukan top enam lagi, tapi tiga besar. Di atas Gal Gadot dan Raisa," kemudian ia penasaran bagaimana aku bisa sampai kepadanya. Aku meneceritakan perjalananku ke Makassar bersama tunanganku. Lalu giliranku penasaran dengannya yang tiba-tiba hilang dari kampus, bahkan tak terlihat lagi sama sekali di Yogyakarta.

"Masa-masa yang sulit dalam hidupku," ia memulai, "Beasiswaku dicabut, bukan hanya alasan itu sebenarnya. Di waktu yang hampir bersamaan, bapakku tiba-tiba mengalami serangan jantung dan beliau meninggal. Kami tidak punya orang tua lagi, sementara aku memiliki tiga orang adik perempuan yang masih sekolah, membutuhkan sosok tulang punggung. Dalam situasi macam begitu, aku memutuskan tidak melanjutkan pendidikan. Aku menetap di sini menjadi kakak sekaligus orang tua bagi mereka." Aku tersentuh mendengarnya.

Hari-hari di sana aku seolah hidup dalam dunia Pandara Allo. Mantan mahasiswa filsafat itu, selain bertani juga memproduksi gula aren untuk bertahan hidup bersama ketiga adiknya. Di samping kesibukan itu, ia masih andil mencerdesakan kehidupan orang-orang di sekitarnya dengan rumah bacanya. Aku salut.

Ketika Faisal menghubungiku menanyakan kepulangan. Aku beberapa kali menunda kepulangan; mencari-cari alasan yang bisa ia terima. Pandara Allo pun menyinggung soal kembaliku ke Yogjakarta. "Aku masih ingin lebih lama di sini," ucapanku membuatnya terkejut. Tampak kikuk saat kuucapkan bagian ini, "Kau adalah sinar terang yang pernah redup di dalam hatiku. Sinar itu kembali, semakin terang membutakanku pada yang telah kumiliki saat ini." Pada malam hening itu, kami tidak mempertimbangkan apa-apa lagi, aku menyerahkan tubuhku, dia menyerahkan tubuhnya dalam pelukanku.

Saat aku menulis kisah ini, adalah tujuh bulan setelah pernikahanku dengan Faisal. Aku baru saja melahirkan bayi perempuan yang cantik. Faisal begitu bahagia kehadiran tangis bayi di rumah kami. Melihat Faisal bersama bayi itu justru aku selalu didatangi perasaan bersalah. Namun aku selalu siap dengan skenario terburuk jika sewaktu-waktu datang; jika suatu waktu Fasial menanyakan kebenaran darah di dalam tubuh bayiku.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun