TAK ADA YANG KEBETULAN DALAM HIDUP. Jumat legi, 22 Oktober 2021 Kompasiana merayakan ulang tahun ke-13. Rekan Hery Suprianto memposting info dari ig@kompasiana di WAG Bolang-Ngumpul.Â
Pada hari itu buku saya, Dari Mat Pelor, Sakerah, hingga Hamid Rusdi selesai cetak. Mas Gedeon Soerja Ardi Direktur Media Nusa Creative Publishing di Malang menyerahkan buku tersebut langsung kepada saya.
Buku Dari Mat Pelor, Sakerah hingga Hamid Rusdi merupakan kumpulan kolom budaya kolom budaya di Malang Post sepanjang 2014 hingga 2019. Jumlahnya 20 tulisan. Buku ini dapat dikatakan melengkapi buku yang sudah terbit, Dari Ang Hien Hoo, Ratna Indraswari Ibrahim hingga Hikajat Kebonagung, Januari 2016. Memuat 39 kolom budaya di koran Malang Post tahun 2013-2014.
Dalam prolognya Rivaldi Anjar Saputra, penyair asal Kebonagung yang saat ini sedang menempuh pendidikan pascasarjana prodi Filsafat Keilahian di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta menulis:Â
Sejumlah 20 tulisan dalam buku ini merupakan catatan kreatif sekaligus serpihan-serpihan data penting tentang kesenian dan kebudayaan yang ada di sekitaran Jawa Timur.Â
Mulai dari tari, teater hingga film. Saya menyadari bahwa "data" adalah kekuatan terbesar untuk merubah sesuatu menjadi lebih baik seperti halnya teknologi dan penelitian-penelitian.Â
Segalanya dilakukan dengan metode pengumpulan data hingga mengolah data. Buku ini serupa sumber data kesenian dan kebudayaan di beberapa tempat di Jawa Timur, bersyukur Abdul Malik mampu menangkap data yang sebelumnya mungkin belum pernah tertulis.Â
Data-data dalam buku ini tentu saja mengandung semangat perubahan yang tentu saja menjadikan kesenian dan kebudayaan menjadi lebih dikenal dan lebih baik dalam pendistribusiannya.Â
Pemilihan media masa sebagai media juga menjadi pilihan yang tepat dimana kesenian dan kebudayaan sampai pada pembaca umum.Â
Selanjutnya mengumpulkannya dan menerbitkan menjadi buku juga merupakan keputusan yang tepat dimana akan memudahkan akademisi atau individu maupun kelompok tertentu yang berfokus pada kesenian dan kebudayaan lebih mudah mengakses data dalam satu genggaman.
Arsip yang terselip di bawah lepek cangkir kopi
Mengumpulkan data untuk bahan menulis membutuhkan energji dan kesabaran tersendiri. Saya menyebutnya 'rejeki-rejeki-an'. Saat memilih tulisan untuk diterbitkan menjadi buku, saya berhutang budi pada Mas Santoso Mahargono di Dinas Perpustakaan dan Arsip Kota Malang. Mas San (seorang Kompasioner juga), membantu saya dengan menyediakan selusin bendelan koran Malang Post.Â
Membongkar, merapikan dan menyusun arsip menjadi bahan yang dapat 'berbicara' membutuhkan kesabaran dan itu merupakan keasyikan tersendiri.Terkadang juga lewat getok tular dapat membawa kita ke sumber arsip 'hidup'.
Di Warung Kopi, Suatu Pagi
Tokoh Mat Pelor saya dapatkan saat beberapa kali  bertemu, berdiskusi bersama Mas Dhany Valiandra, salah satu putra Teguh Santosa, komikus asal Kepanjen.Dalam salah satu pameran komik karya Teguh Santosa (1942-2000) saya bertemu Mat Pelor, tokoh dalam komik Sandhora.
Buang Sabar Arif, pemeran Sakerah saya dapatkan saat menulis Totok Suprapto, Ketua Paguyuban Arek Ludruk Malang.
Hamid Rusdi adalah tokoh utama pementasan Swajiwanita sutradara Eka Wijayanti, Lingkung Seni Limau Ranum di Gedung Kesenian Gajayana Jl.Nusakambangan 19 Kota Malang, 5 Mei 2018.
Â
Masterpiece
Bagus Ary Wicaksono, Redaktur Pelaksana Malang Post 2009-2020 menulis  dalam Epilog: Tulisan yang menurut saya masterpiece adalah Buang Sabar Arif, Sakerah dari Malang Selatan. Ini adalah harta pusaka seni ludruk. Betapa tidak, pada bulan Desember 2014 itu, tulisan Sam Malik terbit di Malang Post.Â
Ketika wawancara Pak Buang, umur narasumber tertulis 91 tahun. Yang saya tahu, Pak Buang sudah abadi melalui tulisan Sam Malik. Abadi bersama filosofinya yang ia tularkan kepada Sam Malik. Misalnya mengenai resep awet muda. Pak Buang ternyata jarang susah, tidak mikir-mikir. Beliu juga mensyukuri apa yang ada, karena rejeki sudah ada yang mengatur.Â
Merayakan Kebahagiaan, Merayakan Sebagai Manusia
Hardjono WS (1945-2013), seorang penulis tinggal di Mojokerto beberapa kali mengatakan bahwa untuk menjadi manusia dapat ditempuh lewat dua hal: Menulis atau ditulis. Salah satu platform untuk menulis adalah Kompasiana. Saya masih menaruh harapan saya pada Kompasiana. Untuk memberi arti pada hidup lewat opini bermakna.Dirgahayu 13 Tahun Kompasiana.
Kado 13 Tahun Kompasiana
Oleh Abdul Malik
Malang, 23 Oktober 2021
#OpiniBermakna #13thKompasiana
Â