Ketika negara mengumumkan efisiensi anggaran, publik berharap penghematan itu akan dialihkan untuk menguatkan denyut ekonomi rakyat. Namun yang muncul justru ironi: di saat rakyat disuruh berhemat, negara meluncurkan lembaga investasi raksasa bernama Danantara, yang mengelola dana triliunan rupiah---dan belum tentu terasa manfaatnya dalam waktu dekat.
Danantara atau Daya Anagata Nusantara adalah superholding baru milik negara yang mengambil alih kepemilikan tujuh BUMN besar seperti Mandiri, BRI, PLN, Telkom, hingga Pertamina. Total nilai aset yang akan dikelola mencapai lebih dari 14.700 triliun rupiah.Â
Presiden menunjuk orang-orang terdekatnya seperti Rosan Roeslani dan Pandu Sjahrir untuk memimpin, dibantu oleh tokoh global seperti Ray Dalio dan Jeffrey Sachs, bahkan melibatkan mantan presiden seperti SBY dan Jokowi dalam struktur pengawas.Â
Secara struktur, Danantara menjanjikan perbaikan efisiensi BUMN, investasi jangka panjang, dan pengelolaan aset negara secara profesional layaknya Temasek milik Singapura.
Namun ketika kita menengok kenyataan di bawah, geliat ekonomi masyarakat justru sedang lesu. Data BPS menyebutkan bahwa tingkat pengangguran terbuka pada awal 2025 mencapai lebih dari 7,28 juta orang, sementara 101.536 pekerja terkena PHK hanya dalam semester pertama 2024.Â
Industri tekstil dan manufaktur dalam negeri melemah karena lesunya permintaan ekspor dan gempuran barang impor murah. Federasi buruh mencatat banyak pabrik di Jawa Barat tutup, dan buruh yang terkena PHK banyak yang terpaksa beralih ke sektor informal.
Ironisnya, pemerintah justru menggulirkan wacana pelonggaran kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Presiden Prabowo menyebut bahwa TKDN harus direvisi agar lebih fleksibel demi menarik investor dan meningkatkan daya saing.Â
Di atas kertas, pernyataan ini mungkin logis. Tapi bagi pelaku industri dalam negeri, ini terdengar seperti ancaman langsung. Tanpa TKDN, pasar akan dibanjiri produk impor, terutama dari China, yang bisa membunuh industri lokal yang sedang bertahan dengan susah payah. Apalagi pemerintah juga menghapus kuota impor bahan pokok dan barang konsumsi, yang berdampak langsung pada banjir produk asing di pasar.
Dampaknya mulai terasa di pasar tradisional maupun online. UMKM lokal menghadapi persaingan yang tak sehat, margin keuntungan makin tipis, dan konsumen mulai terbiasa dengan produk murah luar negeri.Â
Di sektor e-commerce, pemerintah memang berencana membuat platform digital milik BUMN untuk melindungi pedagang kecil. Tapi hingga kini itu masih sebatas wacana. Di sisi lain, pelaku UMKM online semakin tercekik oleh biaya iklan dan komisi yang tinggi di marketplace besar, sementara produk luar negeri semakin mendominasi.