Siapa yang berani berbisik di telinga para eksekutif dan influencer bahwa kehadiran di momen kecil---seperti mengantar ke sekolah dengan sepeda butut, atau mendengarkan cerita remeh di sore hari yang tak ada hubungannya dengan pelajaran---tak kalah penting dibandingkan biaya les privat atau tabungan pendidikan yang menggunung?Â
Seolah masa depan anak adalah sebuah proyek raksasa, dan kita adalah kontraktor yang hanya fokus pada anggaran, bukan pada fondasi emosional.
Coba cermati, di tengah kesibukan gila-gilaan membangun istana masa depan anak yang entah kapan berdirinya, kita kadang tak sadar bahwa masa kini mereka telah berlalu tanpa kita. Masa kini yang seharusnya menjadi album foto penuh kenangan, kini hanya berupa slideshow cepat tanpa penonton.Â
Anak-anak tumbuh, belajar kecewa dari teman-teman, belajar bangkit dari kegagalan kecil, belajar takut pada bayangan sendiri---semuanya kadang tanpa saksi bisu dari orang tua yang seharusnya.
Kita hadir lewat paket data dan saldo rekening yang selalu siap sedia, tapi tidak lewat tatapan mata yang menenangkan atau obrolan sederhana sebelum tidur yang jauh lebih berharga dari dongeng mana pun. Mereka melihat punggung kita yang menjauh, bukan wajah kita yang tersenyum.
Tentu saja tidak salah untuk bekerja keras. Bahkan mulia, seperti ksatria yang berjuang di medan laga ekonomi. Media mainstream tak henti-hentinya mengelu-elukan kisah sukses orang tua yang banting tulang, mengorbankan waktu demi kemewahan anak-anak.
Lihat saja bagaimana artikel-artikel di Forbes atau Bloomberg merayakan pencapaian finansial, seolah itulah puncak tertinggi peradaban parenting.Â
Tapi yang keliru adalah saat kita mulai merasa bahwa bekerja, menyediakan materi, sudah cukup untuk disebut mencintai. Bahwa dengan menyediakan kebutuhan dasar dan sekunder, kita telah menunaikan seluruh kewajiban.Â
Padahal yang dibutuhkan anak bukan hanya biaya hidup, melainkan juga arah hidup---sebuah kompas moral yang hanya bisa hadir lewat waktu, perhatian, dan keteladanan yang autentik.
Prof. Daniel Siegel, seorang psikiater anak terkemuka, sering menekankan pentingnya mindsight---kemampuan untuk memahami diri sendiri dan orang lain---yang hanya bisa tumbuh melalui interaksi yang hadir sepenuhnya.
Mungkin kita perlu berhenti sejenak dari ambisi-ambisi yang mengangkasa, ambisi yang membuat kita lupa caranya membumi. Menoleh ke ruang makan yang makin sepi, hanya ada piring-piring bersih dan keheningan yang menusuk. Mendengar kembali tawa anak yang perlahan berubah jadi sunyi, seperti melodi yang putus di tengah jalan.