Mohon tunggu...
Kukuh C Adi Putra
Kukuh C Adi Putra Mohon Tunggu... Praktisi dan Pendidik | @kukuhcadiputra

GTK Inovatif Kategori Guru SMK Tahun 2023 dan 2024 - BBGP Jawa Tengah | Pengisi Selepas Subuh dan Bukan Sekadar Absen | Certified Trainer and Asessor BNSP RI

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Selepas Subuh: Hilangnya Terima Kasih Saat Bertransaksi

1 Juni 2025   18:36 Diperbarui: 1 Juni 2025   18:36 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Transaksi di Pasar, (Sumber : Gemini Generated AI)

Padahal, dalam dunia marketing modern, ada yang namanya "relationship marketing" dan itu sedang naik daun. Bukan cuma mengejar pembelian sekali, tapi bagaimana menciptakan pelanggan setia yang mau balik lagi, lagi, dan lagi. Dan fondasinya? Koneksi emosional.

Bahkan dalam teori pemasaran digital sekalipun, ada yang namanya "user experience" atau pengalaman pengguna itu adalah raja. Kalau pengalaman belinya tidak menyenangkan, meskipun harganya murah, orang akan mikir dua kali buat balik. Nah, ucapan terima kasih itu adalah bagian dari pengalaman menyenangkan itu. Semacam "sentuhan manusia" di tengah gempuran algoritma dan automasi.

Mungkin, para penjual ini berpikir, "Buat apa sih ngucapin terima kasih? Kan sudah saya kasih barangnya!" Atau, "Pelanggan kan tahu kalau saya berterima kasih, nggak usah diucapin juga." Hmm, ini mirip-mirip dengan hubungan asmara. Apa gunanya bilang "I love you" kalau sudah serumah? Ya, penting! Itu penguat. Itu bumbu. Itu validasi. 

Tanpa itu, hubungan jadi hambar, kering kerontang, dan bonding-nya lemah. Ucapan terima kasih, dalam konteks kehidupan yang lebih luas, adalah simbol penghargaan. Penghargaan atas waktu yang diluangkan pelanggan, penghargaan atas kepercayaan yang diberikan, penghargaan atas rezeki yang mengalir lewat mereka. 

Kalau kita saja sudah malas berterima kasih untuk hal sekecil itu, bagaimana kita bisa mensyukuri hal-hal besar dalam hidup? Bagaimana kita bisa menghargai sesama? Jangan-jangan, fenomena ini adalah sinyal bahwa kita, sebagai manusia, sedang terjebak dalam pusaran individualisme dan pragmatisme akut. 

Segala sesuatu sudah dipandang transaksional, diukur dari untung rugi. Interaksi hanya sebatas fungsional. Padahal, makna kehidupan itu justru terletak pada keterhubungan, saling menghargai, bagi yang memberi dan menerima.

Penutup

Jadi, mari kita mulai lagi. Mungkin tidak mudah, di tengah derasnya arus pragmatisme yang kerap membuat kita lupa "rasa". Tapi, coba saja. Ketika kita membeli sesuatu, mari kita perhatikan: adakah seulas senyum, secercah ketulusan, atau setidaknya seucap "terima kasih" dari si penjual? 

Jika tidak ada, mungkin kita bisa memulai. Bukan dengan menuntut, apalagi menyalahkan. Cukup dengan memberikan teladan sederhana: "Terima kasih kembali, ya, Pak/Bu.."

Siapa tahu, dari sepotong interaksi kecil itu, sebuah virus kebaikan yang telah lama tertidur akan terbangun kembali. Sebuah kesadaran bahwa rezeki tak melulu soal angka di rekening bank, tapi juga tentang keberkahan yang mengalir dari senyum dan hati yang tulus.

Dan semoga, para penjual di luar sana bisa mengingat kembali bahwa sepotong "terima kasih" itu, jauh lebih berharga daripada potongan diskon bernominal, karena ia membangun hubungan emosional, bukan kedekatan finansial.

Bukankah hidup ini akan jauh lebih berarti, jika kita semua kembali menemukan makna dari ucapan sederhana sarat rasa: "Terima kasih." Semoga bermanfaat. (Kkh)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun