Mohon tunggu...
Alvan Lazuardie Alkhaf
Alvan Lazuardie Alkhaf Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Mahasiswa Biasa, dan Pemimpi Besar

Mahasiswa biasa yang berkeinginan besar menjadi wartawan dan penulis karya sastra handal. Berkeinginan agar novel karya saya bisa difilmkan (insya Allah kalau ada yang mau melirik).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pilihan Terakhir

12 Juni 2020   06:00 Diperbarui: 12 Juni 2020   06:15 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perlu kalian semua ketahui, waktu itu, dia masih menjadi pemain sepak bola yang tingkatannya sudah mumpuni. Belum bisa disebut profesional, dan mungkin masih belum sepadan dengan perjuangannya memenangi pertandingan kelas nasional walaupun sepanjang aku mengenalnya ia tak pernah bercerita bahwa dirinya akan mengambil suatu keputusan yang menurutku mengagetkan. Jika ingin menjadi seperti ia, maka akan dipikirkan seribu kali untuk menghentikan popularitas sebagai pemain bola yang diperhitungkan negeri ini.

Benar adanya, aku memandanginya dengan penuh keheranan sembari duduk di kursi dekat lapangan sepak bola yang penuh dengan bola dan pakaian bersih para pemain yang sudah dibinatu sebelumnya. Kursi itu, setidaknya pernah menjadi saksi seorang pelatih yang seringkali emosional ketika melihat beberapa pemain asuhannya salah dalam menentukan strategi. Bahkan, atap kanopi yang menutupi kursi itu dipenuhi dedaunan layu yang seolah bercerita kalau lapangan itu memiliki sejarah yang barangkali agak sulit dihapus dalam kehidupan pemain yang pernah bermain disana. Ibaratnya, kalau pernah bermain di lapangan ini, pastinya akan tertuang satu kenangan indah dan sulit untuk dilupakan.

Dan mungkin bisa jadi, ada yang mengatakan kalau tempat itu barangkali akan menjadi tempat terakhir seseorang bertanding, entah karena pensiun atau mencoba olahraga lain yang lebih mengasyikkan ketimbang menendang kulit bundar di hamparan rerumputan yang demikian luas. Mampukah dia melanjutkan disaat nuraninya tidak sejalan dengan pergerakan tubuhnya? Aku yakin ia tidak akan mampu melanjutkan.

Dua puluh lima menit sesi latihan selesai, sesekali aku melihatnya tengah mengelap keringat yang keluar dari tubuhnya dengan handuk dan bercengkrama santai dengan pemain lainnya. Matanya tidak pernah lelah demi menggiring kulit bundar nan imut itu agar bisa bertanding dengan mulusnya pada kompetisi mendatang. Badannya yang setengah kekar pun membuyarkan pandanganku akan keraguan permainannya di lapangan hijau sebelum akhirnya dia mampu melakukannya. Pembicaraan terakhir yang ia lakukan dengan pelatihnya adalah: setelah pertandingan kontra Malaysia, saya memutuskan berhenti untuk mencoba olahraga lain yang lebih ringan.

Ia seakan serius dengan keputusannya ini, sehingga pembicaraan itu dilakukannya berulang-ulang kali tanpa jeda. Terhitung hampir sebulan ia melobi pelatih kesayangannya untuk menyatakan berhenti memperkuat timnas karena mencoba sesuatu yang baru. Aku melihat sorotan wajahnya yang tidak bisa ditebak sembarangan, antara masam atau gelisah karena keinginannya untuk hengkang tak akan direstui pelatihnya. Sebuah pilihan yang cukup membingungkan bagi dirinya. Perkataannya kala itu hanya keluar sedikit dari mulut manisnya, dan akan dianggap tidak berharga bila nantinya tidak digubris.

Aku cukup terkejut setelah membaca berita olahraga di koran tentang dirinya yang ingin hengkang dari timnas. Ia ingin gantung sepatu karena ingin menjadi pemain freestyle football, begitulah kalimat yang ditulis koran pagi itu. Kopi yang kuminum ini seakan tidak harum lagi usai membaca berita kemundurannya ini. Bagiku, keputusannya akan mengejutkan dan mengecewakan banyak orang yang mengelu-elukan dan memujanya, tapi kodratnya ia harus berhenti karena pilihan yang dapat memberikan manfaat luar biasa. Tidak tepat momennya, makiku dalam hati.

Sesi latihan itu ditutup ketika matahari sudah hampir terbenam. Aku segera menjumpainya yang kelihatannya masih lelah berlatih. "Halo, Arjuna." "Maaf sekali mengganggumu. Bagaimana latihannya untuk pertandingan kontra Malaysia? Katanya ini jadi pertandingan terakhirmu?"

Ia menyambutku dengan keramahan sembari tangan kirinya mengusap keringat di keningnya dengan handuk kecilnya dan tangan kanannya memegang bola yang ia pantulkan kecil-kecil, "Cukup melelahkan. Dan mungkin ini akan menjadi pertandingan terakhirku bersama timnas."

"Kenapa begitu? Bukankah permintaanmu untuk berhenti berulang-ulang kali ditolak sama pelatihmu?"

"Pembicaraannya sudah dilakukan jauh sebelumnya, dan pelatihku akhirnya luluh untuk merestuiku keluar dari timnas. Dia hanya berkata 'semoga sukses dengan pilihanmu di luar sana. Doa saya selalu mengiringimu'. Begitulah jawabnya."

"Aku lihat berita di koran hari ini, kau nampaknya ingin berhenti karena menggeluti freestyle football? Benarkah?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun