Menghantui?
Menghantui?
Ah, Slamet tak yakin betul dengan pilihan katanya itu: menghantui.
Menghantui? Ah!
Bukankah ia sudah mati? Bukankah ia yang semestinya menghantui, jikalau hantu selama ini dikatakan perwujudan lain mereka yang telah mati.
Tapi memang begitu adanya.
Ia dihantui --Slamet akhirnya menyerah dengan memilih kata ini karena dirasa pas-- oleh nukilan compang-camping sebuah kisah dalam beberapa malam terakhir. Sejak pucuk salib makamnya tumbang oleh mata gergaji.
Ia lupa pernah membacanya di mana. Tapi begini kurang dan lebihnya:
 Di hadapannya, sahabatnya terkapar di tikar. Kera itu kejang. Mulutnya berbuih...
 Sesingkat itu. Ya, sesingkat itu. Jauh lebih singkat bahkan dari percintaannya dengan istrinya di malam pertama dulu.
 Mangku tak akan memperlakukan sahabatnya seperti itu...