Dentang tiang listrik terdengar dari kejauhan. Sayup, tapi memekakkan pikiran Arul yang telentang di dipan. Membuatnya memaki, mengutuk mata yang masih jua nyalang.
"Bajingan!"
Ingatannya kembali pada percakapan telepon dengan Ibunya pada pagi hari yang berisi ulangan petuah agar ia segera menikah. Nanti kau telanjur tua saat anakmu masih kecil, demikian kata Ibunya.
Tak usah pula risau soal uang. Perihal pendapatan, tukas Ibunya, sendirinya akan datang karena pernikahan adalah pembuka pintu rezeki.
Arul jengah dengan pendapat itu. Omong kosong yang mengaitkan pernikahan dengan banyak-sedikit rezeki. Baginya, bukan pernikahan yang membuat seseorang beroleh rezeki berlebih, tapi rasa bertanggung jawab. Dan itu tidak perlu didapat lewat pernikahan.
"Tang..."
"Tang..."
Tiang listrik berdentang dua kali. Sayup, tapi menusuk hingga saraf-saraf otak Arul.
"Bajingan!" lagi-lagi ia memaki mata yang masih terbeliak.
Andai tak ada obrolan pagi yang mengganggu pikiran itu, lanjut Arul, ia tidak akan terlambat berangkat ke kantor sehingga harus terburu-buru dan berbuah kecelakaan.
Arul terlambat menarik rem sepeda motor, sampai-sampai menabrak sedan mewah yang berhenti di sisi jalan. Ia terguling, mengakibatkan sejumlah luka di kaki dan tangan.