Oleh: Ali Wongso Sinaga, Ketua Umum SOKSI
Buku "Profil Seorang Prajurit: Letjen Achmad Yani" karya putrinya, Amelia Yani, hadir pertama kali di bedah oleh Universitas Islam Negeri Jakarta pada 23 Juni 2025 lalu.
Buku itu bukan sekadar sebagai kisah pribadi seorang pahlawan revolusi, tetapi sebagai pengingat dan penyala obor perjuangan nilai. Letjen Achmad Yani adalah teladan prajurit yang tidak hanya melindungi wilayah, tetapi juga menjaga ideologi bangsa, yaitu Pancasila dan UUD 1945, dari ancaman ideologi asing seperti komunisme oleh PKI.
Sebagai Ketua Umum SOKSI, organisasi yang didirikan Mayor Suhardiman dimana Pangad Achmad Yani bersama TNI AD memback-up nya sejak embrio PKPN (Persatuan Karyawan Perusahaan Negara) tahun 1960, saya merasa terpanggil menulis untuk meneruskan semangat beliau dalam menjaga politik negara dan arah sejarah bangsa Indonesia.
Dulu Letjen Achmad Yani mendorong lahirnya benteng-benteng sosial-politik fungsional untuk melawan infiltrasi komunisme PKI bukan hanya karena kebutuhan organisasi, tapi karena menyadari bahwa perang ideologi bukan hanya perlu senjata militer tetapi harus dihadapi dengan kekuatan rakyat terorganisir secara ideologis.
Maka beliau mendorong berdirinya SOKSI dan Sekber Golkar sebagai benteng ideologis Pancasila untuk melawan PKI sekaligus sebagai bangunan politik negara dengan doktrin "karya siaga gatra praja"- dengan karya kekaryaan siap membangun  negara sebagai implementasi Pancasila menuju cita-cita nasional selaras Pembukaan UUD 1945..
Letjen Achmad Yani telah menorehkan nama besarnya dalam sejarah bukan karena pangkat atau jabatan, tapi karena komitmen ideologisnya terhadap Pancasila dan bangsa Indonesia. Tugas kita hari ini bukan sekadar mengenang, tapi meneruskan jejak perjuangannya dalam konteks kekinian.Â
Jika kekinian, maka seandainya beliau masih hidup hari ini,apakah yang beliau akan lakukan ? Atau dengan merefleksi pengalaman keberanian,integritas dan kejelasan sikap ideologis politik beliau apa langkah-langkah yang relevan melawan musuh utama negara masa kini ?
Musuh Utama Negara : Dulu PKI, Kini MALING
Hari ini, infiltrasi ideologi telah berganti dan bergeser menjadi infiltrasi ekonomi dan kekuasaan, yaitu "Maling" sebuah akronim yang populis dari singkatan "mafia dan lingkungannya" : korupsi, kartel, dan oknum elite yang seringkali beririsan dengan berbagai mafia (mafia hukum, mafia anggaran/keuangan/pajak, mafia tanah, mafia tambang, mafia migas, mafia narkoba, mafia judol/komdigi, mafia lainnya).Â
Para Maling memperalat demokrasi untuk kepentingan pribadi dengan menciptakan negara dalam negara melalui kekuasaan informal yang tak tersentuh hukum. Mereka terkadang bisa mengendalikan kebijakan melalui tekanan oligarki dan konglomerasi politik bahkan bisa menyandera institusi negara dan hukum.
Kesimpulannya, jika dulu Pancasila terancam oleh musuh utama negara dari luar yaitu PKI/Komunisme maka hari ini Pancasila terancam dan dirusak dari dalam oleh musuh utama negara masa kini yaitu "Maling".Â
Agenda Strategis Melawan MALING
Seandainya Letjen Achmad Yani masih hidup, saya percaya beliau akan berdiri paling depan memimpin perlawanan sistemik terhadap Maling, bukan hanya melalui moralitas, tetapi juga melalui pembenahan struktur politik, hukum, dan kesadaran rakyat. Berikut langkah-langkah strategis yang akan ditempuh:
1. Mendorong Politik Negara, Bukan Politik Kekuasaan
Bangsa negara ini harus keluar dari jebakan politik kekuasaan dengan pragmatisme dan transaksionalnya. Mendorong Politik negara yang politik nilai, bukan sekadar politik menang-kalah.
Politik negara memastikan kepentingan nasional berdasarkan Pancasila diletakkan diatas segala kepentingan golongan, kelompok dan pribadi serta kepentingan sempit. Arah Politik  perlu dipastikan kembali sepenuhnya sebagai alat kedaulatan rakyat, bukan alat akumulasi kuasa elite.
Konsisten dengan itu, mendorong rekrutmen politik didasarkan pada meritokrasi dan nasionalisme-patriotisme, bukan nepotisme, patronase dan transaksional sehingga integritas dan kapasitas serta kinerja pemerintahan berorientasi problem solving membangun bangsa negara menuju Indonesia emas 2045 dapat dipastikan.Â
2. Mendorong Penguatan Supremasi Hukum dan Perundang-undangan
Hukum harus menjadi Panglima, bukan alat dagang. Untuk itu perlu mendorong :
- Revisi dan penguatan UU Tipikor dan Mafia agar tidak dilemahkan oleh celah-celah prosedural.
- UU Perlindungan Pelapor/Pelaku Kunci (Whistleblower) agar pemberantasan Maling efektif dari dalam.
- UU Transparansi Kekayaan dan LHKPN yang ketat, disertai sanksi pidana terhadap  penyembunyian aset Pejabat.
- UU Perampasan Aset Pelaku Maling
- Reformasi penegak hukum (KPK, Kejaksaan, Kepolisian) dengan penempatan figur berintegritas dan sistem pengawasan independen.
3. Mendorong Revitalisasi Benteng Pancasila - Sinergi TNI, Rakyat, dan Sipil
Seperti era Yani, kolaborasi strategis dan sinergis antara TNI AD, kekuatan sipil yang bersih, dan rakyat yang terdidik secara politik, merevitalisasi dan membangun benteng-benteng Pancasila menjadi bagian integral Penjaga Politik Negara, sebagai prasyarat keberhasilan untuk melawan Maling secara nasional.
SOKSI dan Golkar yang beliau bangun bukan hanya bagian dari sejarah masa lalu, tetapi alat perjuangan ideologis di segala masa. Keduanya seharusnyalah didorong untuk kembali ke jati diri awalnya : sebagai bagian integral kekuatan politik negara berorientasi prestasi, karya kekaryaan, bukan politik kekuasaan dengan pragmatisme dan transaksional yang menggerogoti Pancasila dari dalam.
 4. Membangun Sanksi Sosial terhadap Maling.
Perlu ditumbuhkan "Budaya ANTI -MALING" di tengah masyarakat, agar pelaku Maling siapapun, dimanapun dan kapanpun tidak mendapat tempat sosial, dan merasa malu serta terasing. Semestinyalah Maling dihindari dan dicela secara terbuka. Maling harus menjadi aib, bukan celah sukses. Sanksi sosial harus dibangun dan dikuatkan. Lingkungan masyarakat harus dididik untuk tidak menghormati, apalagi membela pelaku mafia dan korupsi sehingga masyarakat terpastikan bukanlah habitat yang cocok bagi Maling. Tanpa sanksi sosial demikian, sanksi hukum takkan efektif bagaikan tak punya gigi.
5. Revitalisasi Pendidikan Politik Pancasila
Tanpa rakyat yang cerdas secara ideologis, rasional dan dewasa politik, maka demokrasi akan selalu mudah dipermainkan dan demokratisasi akan terhambat dan menimbulkan ekses seperti politik uang hingga bentuk anarkhisme yang akan merugikan masyarakat bangsa dan negara. Karena itu diperlukan:
- Integrasi pendidikan politik Pancasila dalam sistem pendidikan nasional dan luar sekolah.
- Program kaderisasi ideologis berjenjang untuk generasi muda melalui organisasi kemasyarakatan, Parpol, Â Pramuka, dan kampus
Penutup : Melanjutkan Api Perjuangan
Letjen Achmad Yani telah gugur sebagai Pahlawan Revolusi, tetapi semangat dan strateginya tak pernah mati. Buku karya Amelia Yani mengingatkan kita semua bahwa melawan pengkhianat bangsa bukan hanya tugas masa lalu, tetapi agenda masa kini dan masa depan.
Hari ini, kita memerlukan lebih banyak "Achmad Yani" baru : bukan hanya di militer, tapi di politik, di hukum, di ekonomi , di budaya, di masyarakat untuk kita bersama melawan MALING---musuh utama negara masa kini---dengan strategi sekuat perjuangan rakyat bangsa negara ini dulu melawan PKI.
Salam Pancasila !
Maju Terus -- Pantang Mundur !
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI