" Pa ada apa ayo, katakana!", pinta Endro.
" Saya harus menceraikan Mamamu!", kata Pak Asto Prasojo
Semua yang mendengarkan langsung terbelalak matanya. Perkataan Pak Asto Prasojo ibarat petir yang menyambar begitu keras pada hati anak-anak Pak Asto Prasojo.
" Papa sadar!", kata Endro agak keras
" Pa apa maksudnya!", lanjut Hesti sambil bersimpuh di depan papanya.
" Pa dalam agama kita, seorang suami yang mengucapkan cerai, maka jatuhlah talak, baik itu serius, bergurau bahkan mengigau sekalipun!", kata Pitaloka yang sudah sabar mendengar ucapan papanya. Dia sebagai saudara tertua mengatakan, Â seharusnya diusia 60 tahun, keluarga itu harus lebih beristropeksi, lebih mendekatkan diri pada tuhan. Anak-anak Pak Asto Prasojo, jelas merasa kaget, karena selama ini pernikahan papa dan mamanya baik-baik saja, tidak permasalahan yang berarti. Sementara ibu Sulistianing hanya bisa menangis tanpa mengucapkan sepatah katapun.
****
Pak Asto Prasojo, masuk ke kamarnya lalu ke luar kembali dengan membawa buku yang lumayan tebal, bersampul cokelat dab bermotif batik. Buku itu adalah buku harian, Pak Asto Prasojo menyerahkan pada Pitaloka untuk membacanya, semua yang hadir jadi tidak banyak bicara karena terbawa suasana. Sementara para cucu Pak Asto Prasojo, bermain di halaman rumah bersama tiga pembatu rumah Pak Asto Prasojo. Pitaloka mulai membuka buku itu, terlihat gemetar tangannya, seolah mengangkat beban yang berat.
Surabaya, 26 Pebruari 1961.
Asto Prasojo seperti biasa pulang sekolah menuju ke terminal Joyoboyo, untuk mencari angkutan menuju ke rumanya di derah Wonosari Lor Surabaya. Langkanya terhenti ketika dipanggil seorang perempuan yang sedang, yang kebetulan motornya lagi mogok.
" Mas bisa minta tolong, hidupin motor, saya!", kata perempuan itu. Asto Prasojo hanya menagguk, dia lalu melepas busi motor tersebut. Beberapa saat busi itu dibersihkan. Asto Prasojo memang sedikit paham masalah motor, karena jika pulang sekolah dia sering membantu servis motor tetangganya. Â