Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Usaha Preventif Banjir di Jerman, Bisakah Jadi Pelajaran Indonesia?

29 Oktober 2018   09:27 Diperbarui: 15 November 2018   16:08 1204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jakarta difoto dari atas Monas (dokumentasi pribadi)

Tanggal 20 Oktober 2018 y.l. di Spiegel online ada artikel berjudul Eine Metropole versinkt im Meer (Sebuah Kota Metrop0l Tenggelam Dalam Laut), Jakarta ternyata yang dimaksud. Narasumber dalam tulisan itu seorang pakar pertanggulan dari negeri Belanda Jaap Brinkmann. 

Membaca artikelnya membuat saya harus beberapa kali menarik nafas panjang. Yang berputar liar di kepala saya secara spontan adalah bagaimana mungkin dalam situasi darurat seperti itu, berita online utama kita hanya dipenuhi masalah politik yang hanya mengupas hal-hal tidak penting, bukan masalah hidup yang urgen.

Ada 3 butir urgensi yang disinggung dalam tulisan itu:

1. Permukaan tanah di Jakarta setiap tahun turun 25 cm, padahal dibandingkan dengan Venedig saja yang memang sudah mengambang di atas air hanya turun 2 mm (BACA dua MILI-METER) per tahun.

2. Pembangunan infrastruktur untuk melindungi warga Jakarta dari ketinggian air laut tidak sepesat pertambahan jumlah penduduknya.  

3. Penyedotan air tanah dibiarkan berlangsung secara liar tanpa kontrol sehingga membuat permukaan tanah makin cepat menurun. Sementara kekosongan air tanah tidak dapat diisi oleh air hujan secara alami karena tertutup beton dan aspal.


Lucunya, setiap dari kita mengenal masalah ini, tapi tidak ada yang menganggap serius dan turut dalam gelombang kesalahan yang dibuat. Untuk itu, sudah seharusnya pemerintah daerah berbuat secara sistem untuk menanggulangi ini, bukan mencari ibukota baru. Seolah dengan ada ibukota baru, masalah di ibukota lama akan selesai dengan sendirinya. 

Uff ...  menyedihkan, kondisi saat ini saja bisa dilihat di foto di bawah ini dari Spiegel.de tanpa tembok bendungan, jalan di sebelah kanan dinding bendungan sudah punah ditelan air laut.

Sumber foto: spiegel.de
Sumber foto: spiegel.de
Bagaimana Jerman Melestarikan Air Tanahnya

Sejak tahun 1990, Jerman membuat aturan untuk lebih menggelontorkan air hujan secara lokal, tidak lagi disalurkan ke kanalisasi. Bila pun disalurkan ke kanalisasi maka pemilik bangunan harus membayar sangat mahal. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban kanalisasi dan memakmurkan ekosistem dan siklus alami air tanah setempat, supaya tidak cepat kering dan agar permukaan air tanah tidak secara drastis turunnya (seperti Jakarta).

Walaupun, rumah-rumah atau bangunan di Jerman itu hampir seluruhnya tercakup dalam jaringan air bersih komunal, yang tersentralisasi dan terkoordinasi dengan sangat baik (artinya rumah-rumah dan bangunan Jerman tidak membutuhkan air tanah, karena memang terlarang menyedot air tanah seenaknya tanpa izin), tapi Jerman sangat memperhatikan kelanjutan ekosistem dan siklus alami air tanah dan kondisi kanalisasi mereka. 

Kepedulian ini diwujudkan dengan memberlakukan aturan-aturan lingkungan, yang menurut saya sangat dinamis dan selalu diaktualisasi dan tentu saja diawasi dengan serius.

Kita memang tidak akan hidup selamanya di atas bumi ini, tapi bukan artinya kita lalu seenaknya memperlakukan lingkungan sekitar kita. Bila kita memang sayang anak-anak, cucu-cucu, sudahkah kita pikirkan bagaimana nasib mereka bila kelak air bersih sukar didapat, dan permukaan tanah makin jauh di bawah permukaan air laut?? Berapa tinggi bendungan untuk menahan air laut perlu dibangun.

Pentingnya Peresapan Tanah

sumber foto: klas-bremen.de
sumber foto: klas-bremen.de
Untuk perizinan pembuatan rumah dan bangunan di Jerman, salah satu yang harus diberikan ke otoritas kota adalah bukti penanganan air hujan bangunan. Bila air hujan ditangani lokal maka tidak perlu bayar, tapi bila air hujan yang jatuh di atas tanah kita disalurkan ke kanalisasi maka pemilik tanah harus membayar mahal sesuai jumlah air jatuhnya. 

Walaupun itu air hujan lho. Hal ini untuk itu memotivasi pemilik tanah memikirkan lingkungan dan melestarikan ekosistem dan siklus alamai air tanah setempat.

Mirip dengan metoda biopori dan sumur resapan, ada banyak metoda yang bisa dilakukan para pemilik rumah dan bangunan di Jerman. Ada dengan metoda atas tanah dan ada juga metoda bawah tanah. Metoda atas tanah adalah pilihan yang tidak mahal, tapi untuk rumah dan bangunan di tengah kota Jerman, yang biasanya padat, metoda bawah tanah seringkali harus jadi pilihan.

Dimensi dari penyerapan air hujan ini sangat penting, kalau terlalu kecil akan membuat banjir, kalau terlalu besar harganya menjadi mahal. Cara perhitungannya pun distandarkan di Jerman, tentu saja dengan mempertimbangkan kondisi tanah setempat dan data hujan selama seratus tahun. 

Iya tidak salah baca 100 tahun. Soal data ini memang Jerman, luarbiasa. Data hujan, data sinar matahari selalu aktual dan terrecord dengan baik untuk seluruh Jerman. Para peneliti di Jerman telah melakukan porsi tugasnya dengan baik. Sangat menggairahkan bekerja dengan data yang aktual dan informasi yang lengkap.

Metoda Atas Tanah yang dikenal, ada 3 metoda, dan Metoda Bawah Tanah ada 3 metoda, dan beberapa metoda kombinasi. Masing-masing memiliki keuntungan dan kerugiannya masing-masing tergantung kebutuhan. Paling sering digunakan adalah metoda Mulde, terjemahannya sejenis kubangan yang ditanami, tidak terlalu mahal tapi cukup efektif bila kondisi tanah mengizinkan.

Pada prinsipnya, jangan hanya memikirkan estetika rumah dan bangunan, tapi juga kebutuhan lingkungan rumah dan bangunan juga harus dipikirkan. Kesalahan yang paling sering dilakukan oleh kita, misalnya menutup semua jalan air dengan semen atau keramik karena kita malas becek. 

Dengan perhitungan yang benar kondisi becek ini pun sebetulnya bisa diatasi, agar air hujan terserap kembali ke dalam tanah dan permukaan air tanah tidak menurun.

Sebagai bangsa Jerman, bangsa pemikir, para pakar di bidang ini juga mengembangkan tidak hanya metoda dan perhitungan tapi juga pipa peresapan yang dibutuhkan sehingga masalah lingkungan bisa lebih mudah lagi untuk ditangani.

Seorang pakar air hujan, tidak hanya piawai menghitung hujan yang jatuh di suatu tempat tapi juga metoda apa yang tepat digunakan untuk penyaluran dan peresapannya. 

Hal ini akan sulit dilakukan bila data debit hujan tidak didata dan dikelola dengan baik. Aturan-aturan perhitungan dan pengawasan pembangunan tidak dilakukan dengan seksama. 

Bisa dilihat di foto di atas bagaimana kota Bremen di Jerman tidak hanya berhasil mengatasi air hujannya bahkan berhasil menambah kecantikan kotanya.

Namun untuk Jakarta, selain bendungan Wall yang menurut saya telat dibangun, perlu kiranya pemda setempat lebih serius menangani masalah penyedotan air tanah dan penambahan daerah-daerah resapan kota. (ACJP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun