Mohon tunggu...
Kristian Wongso
Kristian Wongso Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Ilmu Kriminologi

Pembelajar Ilmu Kriminologi, Dokter Anak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Media Menyuburkan Kebencian di Antara Kita: Pemberitaan Artis Pindah Agama

20 Juni 2015   20:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:45 16177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Apakah hanya supaya situs mediamu ramai pengunjung, Kamu rela benih-benih kebencian itu timbul makin subur di negeri ini?

Indonesia dan intoleransi

Salah satu konsekuensi menjadi pesohor adalah berkurangnya privasi. Kisah-kisah beberapa pribadinya bisa saja menjadi konsumsi publik. Mengapa? Karena ada nilai jual. Mereka pesohor, punya nilai jual. Kegiatan mereka pada saat bangun pagi dengan muka bantal saja bisa menjadi barang jualan, apalagi kalau masalah perpindahan keyakinan.

Dalam berita berbau perpindahan keyakinan, nilai jualnya jadi berlipat ganda. Bukan hanya karena mereka adalah penampil, tapi berita macam ini bisa memainkan emosi pembacanya dengan sangat baik. Kebanyakan orang di negeri ini akan tergerak emosinya bila mendengar berita ada orang yang seiman dengannya keluar meninggalkan iman.

Akan tetapi, cobalah kenali negeri kita sendiri terlebih dahulu.

Menurut studi survei, angka intoleransi di negeri ini masih memprihatinkan. Konflik kekerasanpun masih saja terjadi di negeri ini. Bahkan beberapa konflik kekerasan memiliki akhir yang menggantung tidak jelas (kasus GKI Yasmin dan pengungsi Ahmadiyah di Transito, Mataram).

Istilah “Murtad”

Secara umum (bukan berkonteks agama tertentu), istilah dalam bahasa Indonesia “murtad” (“apostate” dalam bahasa Inggris) menunjuk pada orang yang meninggalkan keyakinannya terdahulu – apapun keyakinannya. Jika kita memegang pengertian umum ini, maka kita dapat mengatakan bahwa artis X yang non-Islam berpindah menjadi Islam, sebagai “murtad”.

Akan tetapi, dalam konteks media di Indonesia, penggunaan kata “murtad” biasanya dalam konteks agama Islam. Jadi, jika ada orang yang mengatakan “X sudah murtad”, maka akan terkait dengan bayangan si X tersebut sudah keluar dari agama Islam. Sebagai tambahan, dalam Alkitab ada kata “murtad” yang menunjuk pada orang yang meninggalkan iman Kristennya.

Beberapa media cetak dan elektronik yang berwawasan luas tidak akan menggunakan istilah “murtad”, karena bisa merancukan dan sarat bernuansa labelling negatif (rasanya tidak pernah ada gelar “murtad” yang bermakna baik).

Alasan konversi

Baru-baru ini dikabarkan bahwa Lukman Sardi berpindah keyakinan dari Islam ke Kristen. Ia beralasan bahwa alasan kepindahannya bukan karena pasangan hidupnya yang Kristen, tapi karena keputusan pribadi setelah melalui berbagai pergolakan batin (1). Alasan yang mirip juga diutarakan Bella Saphira saat ia memutuskan untuk memeluk Islam. (2)

Yang menarik bagi saya bukan karena apa atau karena siapa yang berpindah agama, tapi bagaimana reaksi orang akan hijrah iman mereka.

Kenapa dapat menimbulkan kemarahan?

  • Ketika Bella meninggalkan iman Kristen, maka banyak orang Kristen akan terluka perasaannya.
  • Ketika Lukman meninggalkan iman Islam, maka banyak orang Islam akan terluka perasaannya.

Ini adalah hal yang lumrah terjadi, ibarat ada dari kita yang kemudian berpindah memihak pihak kompetitor, pasti akan terasa menyakitkan bagi kelompok yang ditinggalkan – pemeluk agama apapun itu.

Belum lagi kalau agama asalnya adalah agama-agama Abraham (Yahudi, Kristen, Islam). Perasaan dikhianati ini tentunya akan sangat menampar, karena dalam agama-agama ini, dikenal semangat ekspansi yang sangat kuat (“menginjil” dalam istilah Kristen, “berdakwah” dalam istilah Islam). Menampar keras, karena di satu sisi mereka masing-masing aktif mencari pengikut, tapi di sisi lain, ada yang meninggalkan keyakinan yang telah mereka perjuangkan itu.

Selain itu, ada pandangan yang mengatakan “musuh lebih baik dibanding pengkhianat”.

Reaksi orang-orang di media sosial

Pengamatan di media sosial mengenai komentar orang-orang ternyata sangat menarik.

I) Kecaman

Biasanya berupa kutukan, seperti doa yang tulus agar yang bersangkutan masuk neraka. Bahkan ada yang menyertakan logika-logika aneh sebagai alasan, misalkan “bila ada orang yang masuk agama X, itu pasti karena paksaan pasangan, tapi kalau ada orang yang masuk agama Y, itu pasti karena ketulusan”. Logika seperti ini sangat memesona saya. Saya yakin orang-orang dengan agumentasi irasional inilah yang kemudian akan aktif membakar semanggat kebencian di manapun ia berada.

II) Pujian

Orang-orang seperti ini akan menunjukkan kebahagiaannya yang besar atas bergabungnya seseorang ke dalam iman yang sama yang dianutnya. Ibarat keluarga yang bersuka cita menerima kembali sang “anak hilang”.

III) Apatis

Menurut saya ini yang paling unik.

Mereka tahu kalau mereka tidak peduli dan nggak ngurus si X masuk agama apa. Bagi mereka, itu adalah perkara yang sangat pribadi. Mereka cuek terhadap pilihan orang itu. Harusnya mereka tidak angkat suara sama sekali. Tapi, mereka memilih untuk menyatakan kecuekan mereka di media sosial. Saya tergolong kelompok ketiga ini. Saya memilih bersuara karena saya sudah muak dengan rasa permusuhan yang sudah tersebar di komentar-komentar akun sosial media tertentu.

Dampak pemberitaan

Dampaknya ada dua: kebencian dan popularitas.

Rasa kebencian bisa timbul terhadap orang yang meninggalkan imannya, atau terhadap umat agama lain. Nah, inilah anehnya. Orang lain yang pindah keyakinan, kita yang kelahi.

Saya belum menemukan apa efek positif pemberitaan macam ini terhadap stabilitas maupun pembangunan untuk konteks Indonesia.

Selain yang bersangkutan akan menjadi populer karena diberitakan (dan mungkin dimaki di mana-mana), pihak media juga akan diuntungkan. Traffic kunjungan portal berita pasti meningkat dan harga jualnya akan meningkat.

Saran

Indonesia hingga tahun 2015 ini (hampir tujuh puluh tahun kemerdekaan) terbukti masih rawan konflik kekerasan. Bahkan pada bulan ini, saudara-saudara Ahmadi kita sempat diganggu organisasi masyarakat tertentu pada saat akan beribadah. Selain itu, penanganan konflik yang terjadi di beberapa daerah belum menunjukkan hasil yang baik.

Hal ini menunjukkan bahwa negeri kita belum siap untuk disodorkan berita-berita nasional mengenai perpindahan agama yang secara psikologi dapat memunculkan kebencian-kebencian baru. Kebencian yang lama saja belum bisa diatasi, apalagi ditambah kebencian baru.

Mungkin ada baiknya kita memikirkan ulang mengenai etika pemberitaan. Beritakan mana yang perlu diberitakan, diamlah pada saat harus diam.

Kita semua merindukan media yang memberitakan isu-isu nasional lainnya yang lebih membangun, daripada berita-berita privasi seseorang yang sama sekali tidak akan berfaedah luas.

Mari kita belajar untuk menghargai pilihan seseorang atas keyakinannya. Bukankah masalah keyakinan adalah pilihan pribadi yang harus kita hargai?

Di negeri yang rawan tindak intoleransi, relevankah bila media beramai-ramai memberitakan perpindahan agama seseorang?

 

***

Sumber gambar: http://forefugees.com/category/issues/religion-issues/converting-refugees/

(1) http://www.bintang.com/celeb/read/2255344/pindah-agama-lukman-sardi-bantah-dipaksa-istri

(2) http://celebrity.okezone.com/read/2013/08/20/33/852775/bella-saphira-tegaskan-mualaf-bukan-karena-dinikahi-jenderal

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun