Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karena Allah Merasa (Jumad Agung)

2 April 2021   08:55 Diperbarui: 2 April 2021   08:56 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penyaliban Yesus dalam cuplikan film (@reuters)

Mel Gibson gives us Christ's blood, not in Communion cup, but in the gallon. Blood spraying from Jesus' shackled body, blood sluicing to the cross foot. "I had to use the Passion of Christ to heal my wounds," Mel Gibson told an Australian Newspaper. "The Passion is his personal candle lit in thanks!" Mel said. So the question is "Why it is so bloodly?

Pada jam 12, kegelapan menyelimuti seluruh daerah itu dan berlangsung hingga jam tiga. Pada jam tiga, berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eloi, Eloi, lama sabakthani" (Markus 15:33). Allah-Ku, ya Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?

Kata-kata pamungkas Yesus di kayu salib adalah gambaran kekuatan relasional antara Allah  sebagai Bapa dan Yesus sebagai Putra-Nya. Ketika Yesus diutus ke dunia dengan memilih menjadi manusia (inkarnasi), Ia selalu membawa serta komitmen untuk berkomunikasi dengan Bapa. Misi yang diemban, yang diwartakan, sekaligus diharapkan demi pemulihan dosa umat manusia selalu "dikonsultasikan" kepada Bapa. Kita mengingat, ketika Yesus usai dicobai di padang gurun selama 40 hari, Ia tak henti-hentinya berdoa kepada Bapa. Yesus berdoa meminta nasihat dari Bapa. Misi pertama Yesus di padang gurun kemudian dibalas dengan ungkapan kasih seorang Bapa: "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan!" (Markus 1:11).

Hari ini, Jumad Agung (2/4/2021), Yesus akan menempuh sebuah perjalanan yang sangat memberatkan. Jalan salib. Jalan berlumuran darah. Jalan ketaatan. Jalan menuju kematian. 

Dari rumah Pilatus menuju bukit Golgota, Yesus merengkuh salib. Ia didera, dihujat, dicaci-maki, dimahkotai duri, dilucuti di muka umum, dipaku pada palang penghinaan, dan mati dengan kedua tangan terentang di kayu salib. 

Ia menjalankan tugas-Nya hingga titik darah penghabisan. Seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian, Yesus tak melakukan perlawanan. Demi ketaatan-Nya pada kehendak Bapa dan demi cinta-Nya kepada umat manusia, Ia rela wafat di kayu salib.

Kenapa Allah mau menjadi manusia dan rela dihukum mati? Kenapa Ia tak membinasakan manusia jika memang manusia tidak sesuai dengan kehendak-Nya? Kenapa Allah justru mengutus Putra Tunggal-Nya sebagai tebusan dosa umat manusia? Kenapa bukan orang lain? Kenapa? 

Jawabannya karena Allah merasa (pathos). Allah selalu menaruh simpati dan selalu ingin terlibat dalam ruang gerak hidup manusia. Keberadaan apathis (sikap antipati), dalam lencana teologi salib kemudian menjadi keberadaan pathos (merasa simpati) yang mengarah pada simpati, kepekaan dan cinta.

"He is the God of action, the strong God ever on the side of the stronger battalions, the God who wins battles and leads his own to victory. He is the idol of mankinds history of success -- God is power." 

Allah menunjukkan rasa simpati-Nya tidak hanya dengan kata. Ia bersabda sekaligus menghidupinya dalam tindakan. Penjelmaan tindakan kasih Allah kepada manusia lahir pertama-tama dalam peristiwa inkarnasi -- Allah memilih menjadi manusia. Dari tindakan kasih yang nyata ini, Allah kemudian terlibat dalam ruang gerak hidup manusia. Dan, hal terakhir sebagai blue print tindakan kasih Allah adalah sengsara dan wafat di kayu salib.

Dalam hal ini, kita bisa melihat pathos Allah tidak berhenti pada satu skala prioritas tertentu. Ia tak berhenti di inkarnasi. Ia tak berhenti di padang gurun. Ia tak berhenti di Sungai Yordan. Ia tak berhenti di Gunung Tabor. Ia tak berhenti di Kapernaum. 

Ia tak berhenti di pergandaan roti, membangkitkan Lazarus, menyembuhkan orang sakit, dan perjamuan malam bersama para murid. Ia juga tak berhenti di Getsemani, di rumah Pilatus atau di jalan salib menuju Golgota. 

Pathos Allah itu penuh -- pemberian diri yang total. Ia memberi diri, bukan hanya memberi dukungan atau bantuan materil untuk misi penyelamatan. Allah justru masuk dalam dunia manusia, bahkan mengalami kegelapan dunia orang mati.

Kepedulian dan rasa simpati memang menjadi tantangan kita di zaman sekarang. Ada begitu banyak orang yang justru memintal semangat untuk bersikap apatis, cuek, individualis, dan mati rasa terhadap penderitaan sesama. 

Ada sikap egosentris dan akusentris yang dibangun, diberi parit, diberi garis polisi, dikerudungi, ditemboki, dan diberi label baik-buruk atau kita-mereka. Sikap-sikap seperti ini justru membunuh rasa kemanusiaan kita. Sikap-sikap demikian justru mengantar seseorang pada upaya perendahan martabat manusia.

Pathos Allah dengan mati di kayu salib sejatinya menciptakan sebuah pembaruan dan daya ubah. Dari ego-sistem manusia, Allah justru memberi sebuah pelajaran agar manusia mampu menghidupi sikap eko-sistem. 

Daya transformasi ini, pertama-tama dapat dihidupi jika setiap kita mampu merasa, peduli, dan bersimpati. Hal ini tidak datang dari sesuatu yang setengah-setengah. 

Akan tetapi, pertama-tama datang dari semangat pemberian diri yang total dan pengabdian yang tulus. Allah menunjukkan bagaimana mencintai hingga terluka dan kehilangan nyawa.

Sekali lagi tindakan kasih Allah melalui pengorbanan diri yang total dari Putra-Nya Yesus Kristus tidak pernah sampai pada tahap kepuasan atau jatuh pada kebiasaan. Allah memang sudah sejak dahulu kala mencintai manusia. 

Ia tak pernah berhenti di kala itu, tetapi menemani hingga ujung perjalanan manusia itu sendiri. Dalam ritme hidup harian, kita kadang terjebak atau ditantang karena kebiasaan. 

Misalnya, seorang perawat di awal-awal masa tugasnya akan merasa iba, sedih, dan perihatin dengan seorang pasien. Akan tetapi, lama-kelamaan, karena sering berhadapan dengan pasien, bisa jadi rasa iba, sedih, dan prihatin menjadi pudar.

Pada hari Jumad Agung mengenang kematian Yesus Kristus, kita diajak untuk selalu melibat perasaan (pathos) dalam berinteraksi dengan sesama. Sikap pathos ini, juga perlu dibarengi dengan semangat pemberian diri. 

Jangan setengah-setengah. Di masa pandemi Covid-19, ada begitu banyak yang kadang luput dari pantuan atau sengaja diabaikan oleh sesama. Untuk itu, mari kita bergotong royong sebagai makhluk yang memiliki rasa untuk selalu manaruh perhatian, kepedulian, cinta, dan pemberian diri untuk sesama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun