Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gustavo Gutierrez: Musa Pembebas dari Amerika Latin

12 Januari 2021   11:12 Diperbarui: 12 Januari 2021   12:38 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gustavo Gutierrez menemui Paus Fransiskus. Sumber: www.vaticannews.va.

Rakyat miskin di benua Amerika -- khususnya Amerika Latin dan Tengah -- adalah orang-orang terbuang di tanah mereka sendiri; dan pada saat yang sama berada dalam satu konvoi eksodus ke arah penebusan mereka.

Sejarah perjuangan pemebebasan rakyat Amerika Latin dari keterbelengguan kemiskinan dan budak kapitalisme tidak terlepas dari semangat pembebasan para teolog benua ini. Banyak tokoh pejuang revolusioner yang akhirnya menarik napas lega setelah perjuangan mereka berhasil, akan tetapi ada pula tokoh agama yang merasa terlilit hutang kontra-reformasi saat itu. 

Teologi pembebasan sebagai batang tubuh dari karya-karya tulis yang dihasilkan sejak tahun 1970-an oleh tokoh-tokoh seperti Gustavo Gutierrez (Peru), Ruben Alves, Carlos Mesters, Hugo Assmann, Leonardo dan Clodovis Boff (Brasilia), Ronaldo Munoz (Chili), Jose Miguel Bonino, Juan Carlos Scannone (Argentina), Enrique Dussel (Argnetina-Meksiko), Juan Luis Segundo (Uruguay), Jon Sobrino, adalah produk kerohanian dari gerakan sosial ini. Gerakan ini pada dasarnya ditentang keras oleh pihak Vatikan dan hirarki tertinggi Gereja Katolik Amerika Latin -- Konferensi Para Uskup Se-Amerika Latin (CELAM) -- yang dipimpin oleh uskup Kolombia Alfonso Lopez Trujillo. 

Gerakan ini melibatkan sektor-sektor penting dari Gereja (para romo, para pengamal kongregasi dan para uskup), gerakan keagamaan kaum awam (Aksi Katolik, Pemuda Perguruan Katolik, Pemuda Buruh Kristen), keterlibatan-keterlibatan pastoral yang merakyat serta kelompok-kelompok basis masyarakat Gereja. Tanpa praktik Kekristenan untuk Pembebasan (Christianity for Liberation) kita tidak dapat memahami gejala sosial dalam sejarah penting yang membangkitkan revolusi di Amerika Tengah dan Latin.

Amerika Latin: Benua Katolik sekaligus Basis "Rumput Kering"

Sebagian besar penduduk Amerika Latin sudah dipermandikan sejak lahir dalam budaya keagamaan Katolik Roma. Akan tetapi, di saat bersamaan, benua Katolik ini menjadi mata rantai terlemah dalam keseluruhan jaringan Gereja Katolik oleh karena ketergantungan ekonomi yang parah dan kemiskinan rakyatnya yang -- dipadukan dengan dampak Revolusi Kuba -- menjadi sumber arus gelombang perjuangan sosial dan revolusioner mundial. 

Melihat kenyataan kontras seperti ini, Gereja tidak mungkin suam-suam kuku atau malah berpangku tangan menyaksikan keadaan domba-dombanya. Realitas 'rumput kering' yang menimbulkan kemelaratan domba-domba di rumahnya sendiri, mendorong Gereja (para gembala) untuk bergandengan tangan membantu para domba menemukan kembali tempat dan atmosfir baru di mana mereka bisa merumput. 

Rumput di rumah sendiri disabet dan dimasukkan ke kantong para pengusa dan para kapitalis yang umumnya juga berkonco dengan sebagian pihak Gereja. 

Dalam rekam jejak Gerakan Pembebasan societas Latin Amerika, Gereja secara terang-terangan berwajah ganda -- ada yang mendukung dengan tulus demi suatu pembebasan dan ada pula yang menentang dan bahkan berpura-pura mengutuk gerakan revolusioner ini dengan embel-embel kewenangan otoritas Gereja. Potret saling siku di dalam tubuh Gereja pada saat itu menunjukkan kemerosotan etika kepedulian. Maka, tokoh-tokoh revolusioner seperti Gutierres pun tampil dengan segudang ekspektasi-tranformatif untuk Gereja -- khususnya domba-domba-Nya.

Gustavo Gutierrez -- Etika Kepedulian

Teologi pemebebasan benar-benar lahir ketika diterbitkannya maha karya Gustavo Gutierrez -- seorang Jesuit Peru yang pernah menempuh pendidikan di Louvain dan Lyons, Prancis -- dengan bukunya yang berjudul Liberation Theology: Perspectives. Gutierrez pada awalnya berusaha melepaskan paham ganda yang terwarisi dari pemikiran Yunani, bahwa tidak ada dua kenyataan -- yang fana (temporal) dan yang rohani (spiritual), pula tidak ada dua wajah sejarah, yang suci (sacred) dan yang duniawi (profane). Hanya ada satu sejarah, dan itu terjadi dalam sejarah manusia yang fana, bahwa Penebusan dan Kerajaan Allah mesti diwujudkan hic et nunc. Analisis ilmiah yang digunakan Gustavo Gutierrez adalah analisa Marxis. 

Dalam mengadopsi konsep Marxis, Gutierrez tidak hanya meminjam secuil konsep analitis, tetapi lebih melibatkan nilai-nilai, pilihan-pilihan etik atau politik -- peduli terhadap orang miskin -- dan utopia-utopia futuris, yakni unsur profetis tentang suatu societas tanpa kelas dan nir-penindasan. 

Oleh karenanya, Gustavo Gutierrez menganggap Marxisme bukan hanya menyediakan suatu analisis ilmiah untuk suatu pembebasan, tetapi juga suatu kehendak perubahan sosial yang utopis-konkret. 

Gutierrez sendiri diilhami bukan karena teks-teks 'diamat' (dialektika materialisme) a la Soviet, melainkan lebih tertarik pada "Marxisme Barat" yang sering disebut neo-liberalisme. Tema-tema tertentu yang dikemukakan Gutierrez dan digabungkan dengan analisis Marxis adalah humanisme, keterasingan, praxis dan utopia.

Pawai Exodus -- Keselamataan "Berjemaah" 

Sejarah perjuangan pembebasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir ada dalam rengkuhan teologi keselamatan komunal. Keselamatan dan pembebasan yang diterima oleh bangsa pilihan-Nya, bukanlah penyelamatan jiwa orang per orang, melainkan sebuah penebusan dan pembebasan keseluruhan rakyat (berjemaah) dari berbagai bentuk perbudakan dan penindasan. 

Kitab Keluaran telah menyodorkan kepada kita mengenai kisah iman bangsa pilihan Yahwe yang diselamatkan justru dalam lingkup komunal. Seperti orang yang hendak berjemaah -- beramai-ramai, komunal, barengan -- visi teologi pemebebasan berupaya membebaskan rakyat dari keterbelengguan akan penindasan dan keterasingan di rumah sendiri. 

Upaya untuk mencapai pembebasan dan keselamatan selalu dalam koridor komunal dan demi kesejahteraan bersama (bonum commune). Dalam pandangan ini, orang-orang miskin tidak boleh terus-menerus menjadi sasaran belas kasihan dan kedermawaan, akan tetapi -- sebagai budak-budak Ibrani -- harus menjadi pelaku yang memperjuangkan kebebasan mereka sendiri. 

Yang menjadi penting adalah bahwa orang tidak perlu menunggu datangnya penyelamatan dari atas. Allah akan hanya menjadi "bidan" saat saat kita berjuang melawan penindasan dan tekanan. Selebihnya, tenaga dan power lainnya ada pada dia yang bersalin -- hendak melepaskan sesuatu agar bebas dari apa membuatnya merintih kesakitan. 

Jika kita sebagai orang yang tertindas tidak mau berusaha keluar dari keterkungkungan belenggu penindasan -- merasa adem-adem saja -- harapan pembebasan hanya akan menjadi masa depan yang selalu di tatap dan tidak pernah kesampaian. 

Keselamatan sesungguhnya bangsa Israel dalam guratan sejarah tidak tergantung pada siapa-siapa (Musa), tetapi lebih pada komitmen bersama mereka. Penolakkan Gutierrez atas ideologi pembangunan -- yang sejatinya tidak jauh berbeda dengan reformisme dan modernisasi -- membuka sebuah pawai Keluaran dari tanah Mesir Baru, yakni penindasan dan kemiskinan.

Pawai Pembebasan di Rumah Sendiri (Amerika Latin) 

Hal pertama yang diperjuangkan oleh para teolog Amerika Latin adalah pembebasan, yaitu pembebasan yang mendapat perluasan makna dan definisinya -- pembebasan dari penindasan, belenggu kemiskinan, kelas-kelas sosial, dan lain-lain. 

Dalam bahasa Gustavo Gutierrez, sebuah revolusi sosial muncul dengan dengan pawai pemberian kekuasaan penuh kepada kelas yang tertindas dan membuat societas mampu menikmati udara segar keadilan, kesejahteraan, kemakmuran dan lebih leluasa mengatur SDA di rumah sendiri -- yang belakangan dihisap habis oleh lintah kapitalisme dan para penguasa. 

Orang-orang Kristen yang berperan serta dalam proses pembebasan akan terbimbing untuk memahami bahwa tuntutan-tuntutan prakxis revolusioner mendorongnya untuk kembali menemukan tema-tema inti dan pesan-pesan Injili. Teologi pembebasan juga pada dasarnya berusaha mengeluarkan teologi dari sifat kekakuannya. Teologi yang kaku -- yang hanya bermain di ruang kelas dan tataran ordoxy -- mampu dibawa keluar menyapa mereka yang butuh dibebaskan dan dimerdekakan (Rm. Mangunwijaya).

Gema Pembebasan -- Gutierres-Gutierrez Lain  

Walaupun praktik perjuangan dan pembebasan terjadi di belahan bumi lain (Amerika Latin dan Tengah), resonansinya pembebasannya sangat menggema. Kontekstualisasi berteologi dengan model praxis pembebasan ini pun, laris diunduh di sekujur tubuh bumi. Gemanya memang menyentuh telinga dan tentunya akhirnya Gereja mengapresiasi perjuangan societas Amerika Latin. 

Sayangnya, konkretisasi pembebasan di Gereja tertentu -- misalnya di Indonesia -- masih hanya menyentuh kulit sekamnya. Banyak penghuni Gereja di Indonesia yang meskipun berteduh di bawah payung Gereja -- mengenal baik teori-teori praxis pembebasan -- akan tetapi hidup dalam kemiskinan dan penindasan akibat kurangnya edukasi. 

Jika Gutierrez dkk, sanggup mengeluarkan societasnya dari jeruji  keterasinagan di rumah sendiri, apakah kita Gereja Indonesia lebih memilih menjadi teolog-interpreter? Kita perlu mengapresiasi usaha the new Gutierrez-an, seperti  Rm. Inosensius Nahak Pr, Pastor Paroki Nualain di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), Pater Kopong MSF, dan Uskup Ruteng Mgr. Hubertus Leteng, dalam aksinya menolak tambang. Mereka adalah orang-orang yang sedang dan dalam usaha mengeluarkan Gereja Setempat dari jeruji keterasingan di tanah sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun