Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ketiadaan Tuhan Saat Pandemi: Melegakan?

5 November 2020   21:04 Diperbarui: 5 November 2020   21:17 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bicara soal Tuhan adalah sebuah perkara besar. Kita sampai pada ketidaktahuan. Kita sampai pada kebuntuan. Jika hanya sampai pada kebuntuan dan polemik, itu biasa. Akan tetapi, pembicaraan tentang Tuhan, kadang membatasi ruang gerak. Dunia yang begitu luas, sekejab menjadi sempit karena adanya Tuhan. Tuhan yang menciptakan. Ia mahakuasa dan berkuasa.

Generasi-generasi sebelum kita telah merasakan bahwa akhir dunia sudah dekat. Dalam catatan sejarah ada yang namanya 12 bulan 12 tahun 2012. Kita semua telah melewatinya. Akan tetapi, ada sekelompok orang yang melihat angka itu sebagai penutup usia. Hari bersangkutan dalam kalender ahli nujum dilihat sebagai hari kiamat. Alhasil, beberapa sekte di belahan dunia ini merayakan selebrasi bunuh diri massal.

Memasuki tahun 2020, dunia dilanda virus korona "made in China" katanya. Para pakar, ilmuwan, dan ahli nujum kembali membuat prediksi. Katanya: "Ini kutukan, ini akhir hidup, ini tanda-tanda kiamat." Semuanya diviralkan dan dijadikan pijakan refleksi sambil pelan-pelan mengemas persiapan jika nanti ini memang benar petanda dunia kiamat. Akrobat penafsiran merambah ke banyak hal -- termasuk soal keberadaan dan masa depan Tuhan.

Virus korona menghentikan kerja keras manusia 'tuk memikirkan Tuhan. Ketika korona mengancam, "followers" Tuhan mendadak bungkam. Puji-pujian tak lagi dikumandangkan. Pintu-pintu ditutup. Pingin berdamai, tapi masih takut. Takut sama diktator yang juga tak kelihatan. Kita selalu memikirkan Tuhan, terus "Apakah Tuhan memikirkan kita?" Tuhan pasca-pandemi itu seperti apa? Mungkinkan ada tagar Gereja pandemi karena orang begitu "kangen" sama sosok Tuhan?

Kita tak bisa menjawabnya sekarang. Kita masih dalam situasi darurat. Ketidakpastian menjadi hal yang pasti di tengah pandemi ini. Kita kelihatan seperti teburu-buru menjumpai Tuhan. Di tengah pandemi, sosok Tuhan dicari sekaligus dibiarakan, diingat sekaligus dilupakan, menjadi terkekang sekaligus menjadi bebas. Ada warna-warni soal Tuhan saat ini.

Pertanyaannya pun muncul: "Bagaimana gagasan tentang Tuhan tetap bertahan dalam tahun-tahun mendatang?" Selama 4000 tahun, gagasan itu telah mampu menjawab tuntutan zaman. 

Akan tetapi, pada abad kita ini, semakin banyak orang yang tak lagi merasakannya sebagai suatu manfaat. Dan, ketika sebuah gagasan keagamaan kehilangan fungsi, ia pun dengan cepat dilupakan. Mungkin Tuhan merupakan sebuah gagasan silam sehingga dengan mudah dilupakan.

Ilmuwan Amerika, Peter Berger, mencatat bahwa kita acap menggunakan standar ganda tatkala membandingkan masa lalu dengan masa kita sekarang ini. Masa lalu kadang diagung-agungkan dan menjadi satu-satunya pijak memahami masa depan Tuhan. Masa lalu kemudian dijadikan pelabuhan nostalgia terutama soal kesuksesan dan kejayaan. Ketika disandingkan dengan masa sekarang, gagasan Tuhan terlanjur babak belur. Maka, kaum sekularis abad ke-19 dan awal abad ke-20, memandang ateisme sebagai kondisi kemanusiaan yang tidak dapat dihapuskan pada era ilmiah.

Banyak dukungan untuk pandangan ini, di mana di Eropa, gereja-gereja mulai kosong. Ateisme tidak lagi merupakan ideologi segelintir pelopor intelektual, tetapi malah menjadi keyakinan yang menyebar luas. Di masa lalu, ateisme selalu diakibatkan oleh gagasan tertentu tentang Tuhan, namun kini tampaknya ateisme telah kehilangan hubungan dengan teisme dan menjadi respon automatis terhadap pengalaman hidup di tengah masyarakat sekular.

Seperti kerumunan orang yang mengelilingi "si gila" Nietzsche, banyak orang mulai bersikap tak gentar dengan prospek hidup tanpa Tuhan. Ada pula yang melihat ketiadaan-Nya sebagai hal yang melegakan. Sebagian di antara kita yang pernah mengalami masa-masa sulit dengan agama di masa lalu merasa terbebaskan dengan meninggalkan Tuhan yang telah meneror di masa kanak-kanak.

Sungguh menggembirakan tidak harus tunduk takut di hadapan ilah pendendam, yang mengancam kita dengan hukuman abadi jika kita tidak mematuhi berbagai aturan-Nya. Kita meraih kebebasan intelektual baru dan dengan berani dapat mengikuti pikiran kita sendiri tanpa harus menahan diri agar sesuai dengan aturan agama yang sulit. Kita mengira bahwa ilah gaib yang kita alami itu adalah Tuhan autentik kaum Yahudi, Kristen, dan Muslim, tanpa berpikir bahwa itu mungkin sekedar proyeksi pikiran yang menyimpang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun