Kota ini seperti kota imajinasi. Banyak impian dan banyak kenangan. Banyak kisah dan banyak pula tugu yang bisa dimonumenkan. Sekalipun Jogja hanya menyiapkan satu tugu di dekat poros titik nol, membujur lurus dari Merapi ke Pantai Selatan, saya juga sepertinya 'tak kalah. Saya bisa membangun tugu sendiri sebagai penanda kisah.
Jogja semakin istimewa ketika dicicipi. Keistimewaannya ada di antara sela-sela perjumpaan kita, di antara waktu canda-tawa yang tertata harmoni di batas kota. Di Jogja, keistimewaan sebuah relasi dirajut. Ada tali yang mengikat, yakni tugu yang dibangun atas dasar tingginya harapan seperti Merapi dan luasnya kesan bak kerajaan Nyai Pantai Selatan.
Di Jogja, tak jarang orang menemukan kisah-kisah asmara. Di kota ini, jejak asmara mudah dikemas dan diramu. Suasannya akrab disapa dan dekat di hati. Nina, kemudian menjajal kisah-kisah itu dalam sebuah lirik lagu kurang lebih demikian: "Kutemukan cinta, di indahnya Jogjakarta." Tapi ketika beranjak dan naik kereta, selalu ada yang tertinggal. Tentunya kenangan.
Lima tahun bersama Jogja agaknya tak cukup 'tuk dipahami. Durasi ini memotong sajian yang seharusnya, dari kota yang disemat "istimewa" itu. Ketika mengalami lebih dekat, Jogja memang menyajikan suasana yang tak habis dicicipi kelima indera. Tiap sudutnya selalu ceria dan "ngangenin."
Menghabiskan waktu di Jogja adalah sebuah pelajaran berharga. Ada banyak hal yang bisa "dicicipi" di sekujur jalan, di banyak persimpangan, di alun-alun, di antara beat musik jalanan, juga di sela-sela goresan mural pada tembok-tembok pengukuh kota. Jogja, sejak sediakala menyajikan menu bervariasi. Kita dibuat "berlama-lama duduk" dan enggan melepas kangen.
Siang hari, Jogja tak pernah mengumpat dari kebiasaannya 'tuk menyapa para pendatang baru. Di sisi kiri dan kanan jalan, lapak-lapak kecil dan pedagang kaki lima ramah melempar senyum. Mereka tau para pengagum baru kota itu enggan minggat dan pingin berlama-lama merajut kisah. Kota ini, sekali lagi kota yang dibingkai berlaksa imajinasi.
Episentrumnya tak jauh dari Kraton dan pusat bisnis Malioboro. Meski "sederhana," kedua tempat ini menjadi maskot keseluruhan kota. Agaknya cukup disayangkan jika seseorang datang ke Jogja dan enggan atau lupa ke Malioboro dan Kraton. Menyinggahi dua tempat itu, kita justru ditarik masuk pada garis vertikal sejarah Kekratonan Ngayokarto.
Keistimewaan Jogja paling dirasakan saat malam hari. Ketika mentari lelah seharian bekerja, ia pelan-pelan beristirahat di pelupuk Barat kota. Saat inilah, Jogja digerayangi banyak keindahan, kenikmatan, keceriaan, kehangatan, keramaian, dan momentum meyulam kisah. Jalanan sekejap penuh sajian. Ya sajian khas kota istimewa. Di sana orang bersila menunggu pesanan, dan tak jarang disertai hiburan spontan musisi jalanan.
Di sana-sini, tempat menjamu kebersamaan dan kemesraan ditata dan mulai dibuka. Iya, memang, memang malam hari, ketika semua lampu jalan dengan sekuat tenaga menghalau kegelapan. Saat itu, Jogja semakin istimewa. Tawa-canda, asap, bau kopi, teriakan tukang parkir, celotehan mbak-mbak di pusat perbelanjaaan serta kikikan polos pasangan muda di bawah kedipan lampu, sungguh menambah apiknya suasana kota di malam hari.
Malam hari, Malioboro padat massa. Sekali lagi, kota ini tengah menyusun babak demi babak dari setiap kisah seseorang agar bisa dimonumenkan. Penanda jalan atau lazimnya nama jalan, bahkan ditarik sebagai saksi-saksi bungkam atas tingkah aneh para penikmat kota. Posenya bermacam. Hiburan pun beragam. Berdiri di sisi mana saja di Malioboro, kita justru seperti memasuki ruang pesta elegan plus kekinian yang tengah dirayakan tanpa tiket masuk.
Beragam menu kehidupan di jantung kota yang bukan tanpa imanjinasi ini, tersaji apik dan bikin "ngeces." Saya justru membawa pulang imajinasi baru seusai menjajaki isi kota. Mengulang kisah apapun di Jogja adalah sebuah keharusan. Jika nanti, suatu waktu kita pergi, kita tahu dan mau bercerita bahwa kita pernah berada di sini, saat itu, juga dengan seseorang.
Saya tak mungkin mengulas semua keindahan dan kekayaan kota yang kudatangi enam tahun silam. Tapi, saya punya memori dan mengedip file. Saya mau mengulasnya dengan sedikit keterbatasan sebagai seorang pengagum. Jogja tak pernah habis diceritakan. Nikmatnya, tentu tak sejauh cerita-cerita mereka atau ceritanya, mungkin juga kisah saya. Ia selalu indah saat kita mencicipinya sendiri. Dan, saya sudah dan sedang ada di sini.