Mohon tunggu...
Kristia N
Kristia N Mohon Tunggu... Guru - Penyuka kata

Menuang rasa, asa menjadi kata

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Bayi: Sembunyikan Kelucuannya, Sebut Allah tiap Takjub Padanya

26 Februari 2021   09:42 Diperbarui: 26 Februari 2021   10:21 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sorot matanya bersih, senyumannya polos, celotehnya menggemaskan. Hadirnya menerangi hati yang kelam. Seperti itulah arti hadirnya seorang bayi. Keistimewaannya dapat saja membuat kita ingin menggendongnya, bercanda, atau saking gemasnya, kita ingin mengambil fotonya.

Sudah kita foto, kita kirim ke media sosial. Dengan alasan lain atau sekedar ingin berbagi kebahagiaan. Namun rupanya, kedua orang tua bayi tadi kaget. Mereka tidak pernah memajang foto bayi mereka, tapi bisa hadir di media sosial. Ditambah lagi, kita tadi tak meminta izinnya untuk postingfoto buah hati mereka.

Walhasil, jika mereka terbuka, akan dengan santun meminta kita menghapus foto putra atau putri kecil mereka. Berbeda halnya dengan yang tak terbuka, tapi hati tetap tak rela. Barangkali, hambar sudah relasi pihak keduanya.

Untuk publikasi foto bayi, berikut hal penting yang harus dipertimbangkan.

Pertama, kenali karakter orang tua sang bayi. Era digital dan virtual memang sudah seperti urat nadi. Kehidupan pribadi sudah lumrah dipublikasi. Namun, masih ada orang-orang yang memilih menyimpan privasi tanpa publikasi. Terkhusus wajah sang buah hati.

Logika sederhananya, jika ibu atau ayahnya saja tak membagi foto bayi mungilnya, apakah kita punya hak untuk posting foto bayi mereka? Tentu tidak, bukan? Namun jika memang kita ingin merekam kenangan, barangkali kita dapat meminta izin untuk memfoto saja tanpa mempublikasikannya. Berbeda halnya dengan orang tua yang ramah media sosial, barangkali hal ini sama sekali bukan persoalan.

Ke dua, tak bersentuhan. Di masa pandemi, di kala corona begitu mudah menyerang paru-paru. Virus berpindah seringan debu. Akan sangat egois jika kita tiba-tiba menggendong bayi seseorang. Siapapun kita, apapun alasannya. Baik itu karena keluarga besar atau keakraban orang tua.

Meski ber-hand sanitizer, pakaian sudah disemprot, masker sudah digunakan, baiknya, hindari bersentuh fisik. Terlebih dengan bayi. Kita tahu, bayi belum sempurna kekebalan tubuhnya. Jika orang tua sang bayi saja bersabar untuk tidak jalan-jalan keluar rumah, kenapa kita tidak cukup sabar untuk tidak bersentuhan dengan bayi mereka?

Apalagi jika berujung bayi jatuh sakit lantas meninggal. Kita yang terdeteksi jelas sebagai penular corona-nya justru tampak baik-baik saja. Meski jika kita melahirkan dan memberikan bayi kita untuk mereka, tetap tak akan pernah menggantikannya. Bagaimana relasi kita dengan mereka jika ini terjadi? Sulit rasanya.

Ke tiga, luaskan pengetahuan. Memfoto bayi tanpa izin dan menggendong bayi yang orang tuanya tak berkenan berarti melakukan human right violation. Pelecehan hak azazi manusia termasuk tindak pidana. Mempublikasi foto seseorang tanpa izin, terkena undang-undang pelanggaran hak cipta. Secara jelas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta berbunyi:

"Setiap orang yang tanpa persetujuan dari orang yang dipotret atau ahli warisnya melakukan Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi atas Potret sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk kepentingan reklame atau periklanan untuk Penggunaan Secara Komersial baik dalam media elektronik maupun non elektronik, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun