Tapi anda tahu, jalan setelah pendidikan tidak semulus yang dulu dibayangkan.
Orang tua yang mungkin dengan penghasilan pas-pasan mengorbankan banyak hal demi anaknya bisa sekolah tinggi. Mereka percaya bahwa ijazah akan membuka pintu. Bahwa kalau punya gelar, dunia akan memberi ruang. Tapi realitasnya, banyak yang justru merasa seolah berdiri di lorong penuh pintu yang terkunci... tanpa kunci.
Lapangan kerja hari ini bukan hanya sempit, tapi juga tidak adil. Anda datang ke job fair dengan penuh harapan. CV sudah dipoles sebaik mungkin. Tapi ternyata, bahkan untuk posisi junior, mereka meminta pengalaman kerja lima tahun. Lima tahun---untuk pekerjaan yang digaji setara dengan uang transport ke kantor.
Ironisnya lagi, deskripsi pekerjaan sering kali absurd: posisi sebagai admin tapi diminta menguasai UI/UX design atau copywriting. Posisi entry level, tapi harus punya portofolio yang bahkan tidak diajarkan di jurusanmu. Dunia kerja berubah cepat, tapi sistem pendidikan yang anda lewati tidak mengikutinya.
Dan ketika anda gagal mendapatkan pekerjaan itu, sistem seolah menyuruhmu untuk kembali ke bangku belajar.
"Ambil sertifikasi."
"Upgrade skill."
"Belajar coding, digital marketing, UI/UX, public speaking, bahasa asing, semua sekalian."
Seakan-akan masalahnya selalu ada di anda yang belum cukup qualified---bukan pada sistem rekrutmen yang memfilter kandidat bukan dari kompetensi sejati, tapi dari jejaring sosial, tempat kuliah, atau bahkan wajah dan latar belakang keluarga.
Karena faktanya, banyak lowongan sudah punya nama penerima sebelum dibuka. Dan "pengalaman" sering kali hanya kedok untuk menolak mereka yang tak punya relasi.
Koneksi bukan lagi bonus, tapi prasyarat.