Mohon tunggu...
krisno sianturi
krisno sianturi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi main volly

Selanjutnya

Tutup

Money

Inflasi, Rupiah, dan Daya Beli: Tantangan Ekonomi Makro 2025

2 Oktober 2025   23:33 Diperbarui: 2 Oktober 2025   23:33 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ekonomi bukan hanya tentang grafik pertumbuhan dan tabel inflasi. Ekonomi adalah kehidupan sehari-hari: harga beras yang naik di warung, biaya transportasi yang kian mahal, hingga nilai Rupiah yang terasa makin lemah ketika kita membeli barang impor. Tahun 2025 menjadi periode penting bagi perekonomian Indonesia, karena kita menghadapi tantangan global sekaligus domestik yang menuntut strategi kebijakan makroekonomi yang tepat.

Pertumbuhan Ekonomi: Stabil tapi Rentan

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir berada di kisaran 5%. Angka ini terlihat cukup stabil, bahkan relatif lebih baik dibanding banyak negara lain yang mengalami perlambatan akibat ketidakpastian global. Namun, angka pertumbuhan 5% belum cukup menjawab tantangan struktural.

Pertanyaannya sederhana: apakah pertumbuhan ini dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat? Jawabannya, belum tentu. Sebagian besar pertumbuhan masih didorong konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah, sementara sektor produktif seperti manufaktur dan ekspor belum kembali sepenuhnya menjadi motor utama. Ini membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap guncangan eksternal, terutama ketika harga komoditas global tidak stabil.

Inflasi dan Tekanan Daya Beli

Salah satu isu terpenting tahun ini adalah inflasi. Harga bahan pokok seperti beras, cabai, dan gula cenderung meningkat. Faktor cuaca ekstrem akibat perubahan iklim ikut mempengaruhi produksi pangan. Kenaikan harga BBM dunia juga menekan biaya transportasi. Inflasi inilah yang paling langsung dirasakan masyarakat, karena berhubungan langsung dengan daya beli.

Secara teori AD-AS (Aggregate Demand -- Aggregate Supply), kenaikan harga pangan dan energi menekan sisi aggregate supply. Ketika biaya produksi meningkat, kurva AS bergeser ke kiri, sehingga harga naik (inflasi) sementara output berisiko turun. Dalam situasi ini, kebijakan pemerintah untuk mengendalikan harga pangan melalui subsidi atau operasi pasar menjadi langkah jangka pendek yang bisa menahan gejolak.

Namun, masalah daya beli tidak bisa diselesaikan dengan subsidi semata. Kita perlu kebijakan jangka panjang: memperkuat ketahanan pangan, mendorong produksi dalam negeri, dan mengurangi ketergantungan impor.

Rupiah dan Ketidakpastian Global

Nilai tukar Rupiah juga menghadapi tekanan. Ketika Amerika Serikat menaikkan suku bunga, modal asing cenderung keluar dari pasar keuangan negara berkembang. Hal ini menyebabkan Rupiah melemah terhadap dolar AS. Dampaknya berlapis: impor bahan baku menjadi lebih mahal, inflasi meningkat, dan pada akhirnya beban masyarakat bertambah.

Dalam kerangka IS-LM (Investment-Saving dan Liquidity-Money), pelemahan Rupiah menekan sektor investasi karena ketidakpastian, sementara kebijakan moneter Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas suku bunga sering kali berbenturan dengan kebutuhan pertumbuhan ekonomi. Di sinilah dilema muncul: menjaga Rupiah tetap stabil atau memberi ruang agar perekonomian bisa tumbuh lebih cepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun