Mohon tunggu...
krismanto atamou
krismanto atamou Mohon Tunggu... Guru - Penulis Amatir

Simple Man

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Negeri Para Cecunguk

15 Agustus 2019   23:47 Diperbarui: 15 Agustus 2019   23:46 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja semakin tua ketika mobil berisi setas uang itu kuhidupkan di garasi rumah tua yang didepannya terdapat papan bertuliskan YAYASAN KEMANUSIAAN. Beberapa anak gelandangan tertampung di rumah ini. Mereka bahkan digaji, meski tak seberapa. Paling tidak kata gaji itu sudah menaikkan harga diri mereka jika dibanding duit hasil copet atau upah ngamen---yang sudah susah dilakukan di kota dengan sejuta CCTV ini.

Setelah mobil panas, segera aku menginjak pedal gas sekuat-kuatnya. Waktuku terbatas. Aku harus cepat. Sang petinggi penegak hukum akan lewat di perempatan dengan lampu merah terlama karena sibuknya kota. Bukan hanya dalam perang saja, perhitungan waktu yang tepat sangat dibutuhkan. Bahkan dalam duniaku, itu peraturan nomor satu.

Dalam sepersekian detik, senja kan ditelan malam. Waktu inilah segala peralihan kehidupan segera dimulai dan diakhiri. Ada pergantian aktivitas siang ke malam. Pun hewan nokturnal akan menggantikan hewan diurnal yang segera beristirahat. Tidak hanya satpam, penjual kaki lima, sopir, pencopet, polisi, tentara, guru, dan dosen, bahkan presiden pun bergilir untuk siang dan malam.

Ada presiden siang untuk menguasai kebaikan. Ada presiden malam untuk menguasai segala jenis kejahatan yang tidak biasa. Kejahatan yang tidak melawan hukum---atau paling tidak---kejahatan yang tidak bisa tersentuh hukum. Presiden malam sangat ahli dalam bidang hukum, politik, dan bisnis.

Hukum dimainkan demi politik. Politik dimainkan demi hukum---yang bisa dimainkan. Politik dan hukum dimainkan demi bisnis. Bisnis dimainkan demi hukum dan politik. Pusing bukan? Meski kau pusing, presiden malam tak pernah pusing memainkan berbagai permainannya itu. Jika dibuat irisan pada bisnis, politik, dan hukum, maka ada sang presiden malam. Ia berkuasa di sana. Ia ahli dalam membuat kekacauan yang teratur, atau sebaliknya membuat keteraturan yang kacau balau.

Begitulah permainannya hingga membawaku ke atas mobil tua produksi Jerman yang dilarang beredar di negeri ini. Alasannya karena mobil ini memiliki daya pacu kecepatan melebihi standar lokal. Tapi, bukankah mengoleksi barang antik adalah hobi para borjuis? Meski dengan cara tak resmi, yang penting prestisenya terjaga dan ia terkenal di antara para pengenalnya.

Aku cecunguk sialan yang ditunjuk menjadi kepala yayasan. Katanya, "Kau akan menjadi pejabat penting jika menjadi kepala yayasan kemanusiaan. Kau akan diundang ke acara talkshow ternama sebagai pejuang kemanusiaan. Kau adalah pahlawan, yang mengubah nasib anak jalanan ini menjadi orang-orang bergajian." Ya, gaji karena telah menjaga marwah sang ketua yayasan, terutama sang pemilik yayasan, penerima manfaat terbesarnya. Namanya pasti akan dikenang sebagai pahlawan kemanusiaan, pahlawan bagi sebagian anak jalanan.

"Cepat buka gerbangnya!" seruku. Para anak jalanan itu telah berubah menjadi cecunguk kelas bawah. Apalagi kalau bukan tujuannya adalah menjadi cecunguk kelas atas. Mungkin untuk menggantikanku. Lalu aku ke mana?

"Kau akan mati seperti pendahulumu dulu. Diracun. Bukankah kau yang meracunnya? Seperti Munir diracun dengan racun arsenik?"

Ah, mana mungkin. Akulah ahlinya ahli racun. Aku tak akan mati karena racun. Meski ada kitab yang berkata, "Siapa bermain pedang, akan mati dengan pedang." Tapi, aku bukan bermain pedang, aku cuma bermain peran dan racun jadi senjataku.

Para cecunguk kelas bawah berlarian terbirit-birit membukakan pintu. Belum semenit, mobilku, eh, mobil si tua parlente itu, sudah berada di jalan raya. Kembali aku menginjak pedal gas sekuat-kuatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun