Mohon tunggu...
Eko Kristie
Eko Kristie Mohon Tunggu... Guru - Payung itu melindungi diri. Payung itu norma, tradisi, agama, dan segala sesuatu yang menjadikan hidup semakin nyaman.

Pada mulanya adalah kata-kata. Itulah awal Tuhan Allah mengenalkan dunia. Ayo, saling mengenal untuk memuliakan karya agung-Nya!

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Edisi Hari Ibu

23 Desember 2014   06:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:39 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bunda Selalu Lebih Perkasa dari Siapa pun Jua

Mengenang ibu ialah mengenang masa kecil. Masa bocah itu menyenangkan bagi beberapa orang, tapi juga menjadi sisi yang menyakitkan (di dalamnya bertebaran dendam yang menyengat relung hati) dengan torehan atau sayatan luka tipis atau lebar, tetap saja terasa perih. Saya juga berharap, hal ini tidak mengada-ada. Hidup itu barangkali memang menarik manakala ada kenyataan yang menimbulkan tanda tanya. Suatu pertanyaan terhadap kenyataan pasti membiaskan beragam problema atau konflik tertentu. Dalam ukuran pribadi, tidak ada skala yang pasti, berpengaruh positif atau negatif yang akan terjadi, pada muaranya menjadi relatif. Kesiapan, bekal mental, spiritual, dan intelektual atau latar-latar bekal tertentu yang (mungkin) bermutu pun tidak menjamin seseorang tabah menghadapi kenyataannya. Marilah, sungguh-sungguh mengingat bahwa ibu yang mengenalkan kita pada kenyataan hidup.

Kata ”Hawa” berarti sesuatu yang menghidupkan. Manusia itu menjadi hidup bukan karena kelelakian, tapi karena keperempuanan. Seorang ibu tidak hanya mengalirkan air susu melalui penthil-penthilnya, ia terutama mengalirkan hidup secara jasmani dan rohani. Dengan segala kekurangan dalam dirinya, sosok ibu telah meniup, memungut, merangkai, dan melepaskan satu per satu kemandirian manusia ke atas bumi.

Dengan tangannya, manusia mengenal belaian, dengan matanya manusia mereguk keteduhan, dengan telinganya manusia belajar kemerduan, dengan bibirnya manusia mengungkapkan keceriaan, dengan hidungnya manusia mengaromai kesedapan. Juga dengan usapannya, manusia mengenal kelemah-lembutan hidup.Kesadaran terhadap sesuatu yang menghidupkan ini menjadi keseimbangan bagi hidup kita, dengan turut menciptakan harmoni di alam semesta kecil atau besar (jagad cilik dan jagad gedhe). Tidak ada sosok yang mempuyai keluhuran sebesar seorang ibu, kecuali hal itu diberikan langsung oleh-Nya.

Kahlil Gibran pernah menulis bahwa orang tua itu hanya busur untuk merentang anak-anaknya sebagai mata panah. Mata-mata panah itu milik masa depan, tidak pernah lagi menjadi milik masa lalu (orang tua). Gibran mengimajinasikan dirinya (dan bekal pengalaman) sebagai anak panah – tanpa sasaran, tanpa target, yang berujung pada kebebasan. Tugas di pemburu (ortu) yang semula menyasarkan dan menargetkan, ditepis lumat-lumat olehnya. Ya, katanya, orang tua tidak pernah mampu untuk singgah di rumah masa depan. Orang tua hanya busur yang merentang, barangkali ingin menitipkan harapan dan doa, hal itu pasti dilakukan oleh semua ibu dan ayah.Seorang anak semula bertolak dari kehendak orang tua, pada masanya ia akan bertualang, sendiri mengarungi sunyi dan mimpi. Orang tua? Jika sudah begitu, saatnya untuk bertanya pada diri sendiri, agar tidak saling melempar caci-maki.

Anda masih ingat ”kasus Prita Mulaysari” beberapa tahun lalu? Ibu dari dua anak – yang keduanya masih diteteki – mengirim e-mail kepada beberapa temannya tentang pelayanan yang tidak memuaskan  RS Omni Internasional di Tangerang. Secara detail, aku tidak tahu persis alur permasalahannya. Namun, ada kronologi peristiwa yang di harian Kompasiana, 6 Juni 2009. Satu hal yang pasti Prita – sebelum kasus ini di-up load media massa dengan gencar, dia sudah beberapa hari ditahan di lapas perempuan selama beberapa hari.

Apa pun delik hukum yang dikenakannya, apa pun  pencemaran nama baik lembaga yang dinodainya – dirinya tidak layak untuk ditahan dalam jangka waktu lama. Setidaknya ada dua kejumawaan: (1) Pengadilan tidak berani mengambil keputusan dengan sudut pandang manusiawi. Sudut pandang perangkat hukum cenderung mengiris sesuatu tanpa perhitungan nilai humaniora. (2) Pihak RS Omni Internasional mempunyai modal lebih dari cukup untuk membayar dan membeli ruang-ruang hukum yang tak terjamah kaum awam.

Prita (yang saya pandang) melek teknologi informasi, akhirnya tersungkur di balik terali besi. Pernyataan atau imbauan atau tanggapan seputar upaya jenderisasi – saat ini tersisa sebagai keidealan yang kumal, tanpa upaya yang pasti bagi kenyamaman hidup manusia.Sisi kenyamaman inilah yang seharusnya melingkupi hidup perempuan. Perempuan tidak perlu koar-koar telah menjalani feminisme lebih dari yang lain, karena contoh hidup yang sederhana dan terkendali sudah memancarkan sikap jender itu. Lebih banyak perempuan yang mandiri dan berbakti, bahkan ada yang berani sendiri dan pantang mengeluh untuk beriba hati kepada orang lain. Keberanian untuk membesarkan anak-anak ketika ditinggal sang suami. Adakah lelaki yang bertahan sendiri hingga ajal menjemputnya?

Hari Ibu layak menjadi wahana untuk mengenang nilai-nilai hidup keperempuanan, sebab dalam hidup sehari-hari – apalagi pada zaman sekarang ini – mulai terkikis sikap-sikap egoisme yang seolah-olah meninggikan martabat perempuan. Selamat Hari Ibu!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun