Mohon tunggu...
Kris Ibu
Kris Ibu Mohon Tunggu... Penulis - Sementara bergulat

Mulailah dengan kata. Sebab, pada mulanya adalah kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya dan Tradisi di Danau Toba: Antara Cemas dan Harapan

14 September 2021   21:24 Diperbarui: 14 September 2021   21:39 2811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya cemas, suatu saat tradisi lokal masyarakat daerah sekitar Danau Toba bisa punah akibat merasuknya arus globalisasi. Seperti yang disaksikan bersama, kita sedang berada dalam pusaran arus globalisasi. "Anak kandung" dari arus ini adalah teknologi. Acapkali kita tercemplung dalam teknologi, serentak melupakan budaya dan tradisi lokal yang memiliki nilai kebajikan tersendiri.

Saya cemas, masyarakat adat kita secara umum dan masyarakat sekitar Danau Toba secara khusus, bisa saja melupakan budaya yang adalah tradisi nenek moyang mereka. Tarian Tor-Tor dan Wayang Sigale-gale bisa dilupakan generasi muda sekitar Danau Toba.

Meski demikian, saya memiliki harapan yang tak kalah besarnya. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, dalam kunjungan kerjanya ke Danau Toba pada Rabu (30/12/2020) menegaskan bahwa target pembangunan dan pengembangan Danau Toba diarahkan pada pariwisata berbasis budaya dan alam. "Banyak kearifan lokal dan budaya di sini yang harus kita jaga dan kembangkan, tinggal kita membuat strategi apa yang tepat untuk dikembangkan, seperti calender of event-nya bisa dibuat sport tourism event, dari segi produk seperti ulosnya juga harus diseragamkan dan lainnya," ujarnya (https://kemenparekraf.go.id, diakses pada 14/9/21).

Hal ini mesti dan patut ditanggapi secara serius oleh masyarakat, khususnya generasi muda sekitar Danau Toba di tengah tantangan arus globalisasi. Mereka mesti memikirkan secara lebih jauh, langkah jangka panjang apa yang mesti dibuat agar tradisi budaya tidak tergerus zaman.

Solusi

Solusi yang saya tawarkan adalah mengadakan even budaya setiap tahun, seperti penegasan Menparekraf di atas. Setiap wisatawan yang berkunjung, entah lokal atau internasional, diwajibkan menggunakan pakaian daerah masyarakat lokal. Sementara itu, masyarakat setempat, khususnya kaum muda, mementaskan acara bertema budaya lokal sembari memperkenalkan Danau Toba itu sendiri secara mendetail. Wisatawan yang berkunjung pun dijejali dengan makanan lokal masyarakat setempat. Jika ada wisatawan yang hendak menginap, mereka diwajibkan menginap pada rumah masyarakat setempat, yang sudah ditentukan oleh tetua adat atau aparat pemerintahan setempat, bukan di hotel atau tempat penginapan mewah. Penentuan tempat nginap ini mesti jelas dan terstruktur, agar semua rumah masyarakat setempat bisa ditempati oleh wisatawan. 

Hemat saya, selain even ini dapat memberikan dampak dua manfaat sekaligus: peningkatan ekonomi masyarakat, serentak membantu masyarakat, khususnya kaum muda menghidupi dan menjaga budaya dan tradisi leluhurnya.  

Hal ini bukan menandakan sebuah kekolotan. Even yang bertema sederhana dan lokal tidak identik degan kekolotan, melainkan sebuah ekspresi kejeniusan sikap manusia dalam ziarah mencari jati dirinya. Kemodernan dan keglobalan dunia tak pernah terjadi dari dirinya sendiri. Hal itu muncul dari usaha manusia menemukan hakikat sebuah hal sederhana (Aleksander Dancar, "Otonomi Budaya dan Globalisasi", Lentera, II, hlm. 4).

Akhirnya, mari lestarikan budaya lokal di sekitar Danau Toba agar tetap lestari sepanjang masa.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun