Mohon tunggu...
Kris Ibu
Kris Ibu Mohon Tunggu... Penulis - Sementara bergulat

Mulailah dengan kata. Sebab, pada mulanya adalah kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Korupsi dan Karakter Kita

12 Oktober 2017   01:14 Diperbarui: 12 Oktober 2017   03:01 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perilaku korupsi jika kita tafsir seturut ide Freud merupakan perilku yang lebih menonjolkan id individu. Individu yang korup bekerja seturut prinsip kesenangan pribadinya. Ia lebih memilih untuk memuaskan 'dahaga' pribadi, keluarga dan kenalan dibanding kepentingan umum. Hal ini jelas bahwa, sang koruptor menegasikan ego (prinsip penyesuaian dengan realitas) dan superego (moralitas). Mengapa? Karena koruptor tidak melihat realitas penderitaan bangsa serta menganggap korupsi sebagai hal yang biasa dan 'bermoral'.

Perilaku ini menunjukkan bahwa karakter kepribadian para pemimpin pemerintahan kita belum matang. Para pemimpin kita lebih cenderung mencari peluang untuk mementingkan kepentingan dirinya dibanding kemaslahatan bersama.

Apa yang harus dibuat?

Pertanyaan ini menjadi tantangan bagi kita, para generasi muda yang akan menjadi pemimpin hari esok. Apalagi pada tahun 2045, negeri kita akan merayakan 100 tahun kemerdekaannya.

Oleh karena itu, sebagai generasi penerus bangsa, hal pertama dan utama yang harus kita buat bersama adalah penguatan pendidikan karakter dalam setiap insitusi, entah formal maupun informal. Dalam tulisan ini, penulis hanya membatasi pada dua institusi yang dianggap sebagai institusi dasar penguatan pendidikan karakter yakni keluarga dan sekolah.

Pertama,keluarga. Keluarga secara sederhana adalah sekolah awal (informal) di mana setiap individu memeroleh pendidikan. Dalam keluarga, individu dibina karakternya oleh orangtua sebelum individu berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Individu pun mulai menanamkan benih-benih karakter yang baik dan luhur. Oleh karena itutugas keluarga adalah mensosialisasikan pentingnya pendidikan karakter dalam keluarga sebagai sekolah awal.

Kedua, sekolah formal. Dalam sekolah formal, hal yang patut mendapat perhatian adalah kurikulum kita. Kurikulum pendidikan kita harus diubah. Kurikulum pendidikan kita harus memberikan porsi yang lebih pada pendidikan karakter. Hal ini tidak berarti pengeliminasian aspek lain seperti aspek intelektual. 

Tetapi, hendaknya pendidikan karakter memeroleh porsi yang lebih tinggi dari aspek yang lainnya. Minimal pendidikan karakter memeroleh porsi 70% seperti penegasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy (Kompas,24/4/2017). Dengan demikian, karakter individu menjadi kokoh dan kuat.

Akhirnya, hemat penulis, dua institusi di atas menjadi kunci dan solusi penguatan karakter. Alhasil, setiap individu yang akan menjadi pemimpin nati tidak lagi terjerumus dalam rayuan manis korupsi yang dinilai merusak karakter kepribadian kita. ***    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun