Mohon tunggu...
Krisanti_Kazan
Krisanti_Kazan Mohon Tunggu... Teman belajar

Mencoba membuat jejak digital yang bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Buku Filsafat di Lemari Saya: Jejak Masa Muda yang Enggak Saya Mengerti

19 Mei 2025   10:11 Diperbarui: 10 Juni 2025   11:09 1534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rak buku | Sumber: contemporist.com 

Pengakuan Jujur Seorang Pembeli Buku Impulsif

Saya pernah beli buku filsafat waktu masih kuliah. Kenapa? Sampai sekarang juga saya nggak yakin. Padahal saya kuliah di jurusan kimia-jurusan yang sehari-hari berkutat dengan rumus, laboratorium, dan reaksi senyawa. Tapi entah kenapa, saya bisa pulang dari toko buku dengan sebuah judul filsafat yang bahkan sekarang judul lengkapnya saja saya agak lupa.

Waktu itu, saya memang sedang senang-senangnya jalan ke toko buku, apalagi kalau lagi ada diskon besar-besaran. Sebagai mahasiswa dengan uang saku pas-pasan, diskon seperti itu ibarat undangan resmi untuk kalap. Dan saya, seperti biasa, tergoda bukan karena benar-benar butuh, tapi karena cover bukunya keren dan judulnya terkesan dalam. Rasanya seperti: "Kalau saya punya buku ini, saya kelihatan lebih mikir dari luar."

Kalau dipikir-pikir sekarang, mungkin itu salah satu fase yang cukup lucu sekaligus membekas. Fase di mana membeli buku bukan soal kebutuhan, tapi semacam pencarian identitas-atau mungkin, pencarian ilusi bahwa saya sedang tumbuh jadi pribadi intelektual.

Saya nggak tahu siapa yang pertama kali bilang "don't judge a book by its cover", tapi jelas saya bukan pengikut paham itu. Dalam dunia perbukuan versi saya saat itu, cover dan judul adalah segalanya. Saya bisa berdiri cukup lama di rak buku hanya untuk menatap desain sampul yang estetik, warna-warna yang adem, dan font judul yang terkesan "dalam". Kalau judulnya terdengar puitis atau filosofis, wah... langsung masuk keranjang.

Tumpukan Buku yang Dibeli, Belum Dibaca

Seiring waktu, koleksi buku yang saya beli tanpa perhitungan itu mulai menumpuk. Rak buku kecil di ruang tamu keluarga saya dulu jadi semacam museum pribadi-dipenuhi buku-buku yang tampak cerdas dari luar, tapi isinya belum sempat saya jelajahi. Ada novel Sherlock Holmes berbahasa Inggris-kalau ini memang tokoh favorit saya, buku psikologi pendidikan populer, dan tentu saja... beberapa buku filsafat yang hanya saya baca sampai halaman pengantar.

Lucunya, ada rasa puas tersendiri hanya dengan memilikinya. Buku-buku itu menjadi semacam hiasan intelektual yang membungkus rak buku saya dengan aura "anak muda yang (seolah) berpikir dalam". Padahal kenyataannya, buku itu lebih sering dilirik daripada dibuka.

Kalau dipikir-pikir, saya nggak sendirian. Banyak teman saya juga punya kebiasaan yang sama: beli buku dulu, baca entar. Seolah-olah, membeli buku adalah bentuk investasi niat. Membacanya bisa nanti... entah kapan.

Buku Filsafat: Paling Aneh tapi Paling Berkesan

Dari semua buku yang saya beli secara impulsif, buku-buku filsafat menempati posisi paling "aneh tapi berkesan". Aneh---karena jujur saja, saya nyaris tidak mengerti isi tulisannya. Tapi berkesan, karena keberadaannya membuat saya merasa... sedikit lebih intelektual. Atau setidaknya terlihat seperti itu.

Satu buku yang paling saya ingat adalah yang membahas tentang eksistensi manusia. Saya bahkan tidak paham apa itu eksistensialisme. Saya membayangkan suatu hari saya bisa mengutip kalimat itu dalam obrolan santai di kafe, padahal belum tahu konteksnya apa.

Saya sempat mencoba membaca satu-dua bab dengan serius. Saya buka kamus, saya baca ulang kalimatnya pelan-pelan. Tapi otak saya yang terbiasa dengan struktur logika kimia ternyata agak tersesat di labirin pemikiran filsuf. Jadilah buku itu kembali ke rak, berdiri tegak di antara buku-buku lain yang lebih ringan dan mudah dicerna.

Namun anehnya, saya tidak pernah menyesali pembelian itu. Buku-buku filsafat itu menjadi semacam saksi dari masa muda saya yang penasaran, ambisius, tapi belum tahu arah. Dan meski saya belum mengerti, saya tetap menyimpannya-sebagai pengingat bahwa pernah ada bagian dari diri saya yang ingin mencoba berpikir lebih jauh dari rumus dan laboratorium.

***

Dua puluh tahun berlalu, tumpukan buku yang dulu saya beli dengan alasan impulsif itu ternyata punya cerita baru. Saat saya mudik ke rumah orang tua, saya melihat anak saya yang masih duduk di bangku SD asyik membaca beberapa buku yang dulu saya beli tanpa paham isinya.

Anak saya, yang punya hobi membaca segala jenis buku, tanpa ragu membuka dan menelusuri halaman demi halaman buku yang sudah lama bersarang di rak. Melihatnya, saya tersenyum. Ternyata, buku-buku yang dulu cuma jadi "hiasan rak buku" itu sekarang menjadi jendela bagi generasi baru dalam keluarga kami untuk belajar dan bereksplorasi.

Mungkin saya belum mengerti isi buku-buku itu saat muda, tapi mereka punya peran tak terduga-menjadi warisan kecil yang menghubungkan masa lalu dan masa depan kami. Buku-buku itu menyimpan jejak masa muda saya yang penuh semangat mencari jati diri, dan kini menjadi jembatan bagi anak saya untuk mengenal dunia yang lebih luas.

Kadang, buku yang belum kita baca pun punya cara sendiri untuk menemani hidup kita, bahkan lebih dari yang kita duga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun