Saya sempat mencoba membaca satu-dua bab dengan serius. Saya buka kamus, saya baca ulang kalimatnya pelan-pelan. Tapi otak saya yang terbiasa dengan struktur logika kimia ternyata agak tersesat di labirin pemikiran filsuf. Jadilah buku itu kembali ke rak, berdiri tegak di antara buku-buku lain yang lebih ringan dan mudah dicerna.
Namun anehnya, saya tidak pernah menyesali pembelian itu. Buku-buku filsafat itu menjadi semacam saksi dari masa muda saya yang penasaran, ambisius, tapi belum tahu arah. Dan meski saya belum mengerti, saya tetap menyimpannya-sebagai pengingat bahwa pernah ada bagian dari diri saya yang ingin mencoba berpikir lebih jauh dari rumus dan laboratorium.
***
Dua puluh tahun berlalu, tumpukan buku yang dulu saya beli dengan alasan impulsif itu ternyata punya cerita baru. Saat saya mudik ke rumah orang tua, saya melihat anak saya yang masih duduk di bangku SD asyik membaca beberapa buku yang dulu saya beli tanpa paham isinya.
Anak saya, yang punya hobi membaca segala jenis buku, tanpa ragu membuka dan menelusuri halaman demi halaman buku yang sudah lama bersarang di rak. Melihatnya, saya tersenyum. Ternyata, buku-buku yang dulu cuma jadi "hiasan rak buku" itu sekarang menjadi jendela bagi generasi baru dalam keluarga kami untuk belajar dan bereksplorasi.
Mungkin saya belum mengerti isi buku-buku itu saat muda, tapi mereka punya peran tak terduga-menjadi warisan kecil yang menghubungkan masa lalu dan masa depan kami. Buku-buku itu menyimpan jejak masa muda saya yang penuh semangat mencari jati diri, dan kini menjadi jembatan bagi anak saya untuk mengenal dunia yang lebih luas.
Kadang, buku yang belum kita baca pun punya cara sendiri untuk menemani hidup kita, bahkan lebih dari yang kita duga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI