Pengakuan Jujur Seorang Pembeli Buku Impulsif
Saya pernah beli buku filsafat waktu masih kuliah. Kenapa? Sampai sekarang juga saya nggak yakin. Padahal saya kuliah di jurusan kimia-jurusan yang sehari-hari berkutat dengan rumus, laboratorium, dan reaksi senyawa. Tapi entah kenapa, saya bisa pulang dari toko buku dengan sebuah judul filsafat yang bahkan sekarang judul lengkapnya saja saya agak lupa.
Waktu itu, saya memang sedang senang-senangnya jalan ke toko buku, apalagi kalau lagi ada diskon besar-besaran. Sebagai mahasiswa dengan uang saku pas-pasan, diskon seperti itu ibarat undangan resmi untuk kalap. Dan saya, seperti biasa, tergoda bukan karena benar-benar butuh, tapi karena cover bukunya keren dan judulnya terkesan dalam. Rasanya seperti: "Kalau saya punya buku ini, saya kelihatan lebih mikir dari luar."
Kalau dipikir-pikir sekarang, mungkin itu salah satu fase yang cukup lucu sekaligus membekas. Fase di mana membeli buku bukan soal kebutuhan, tapi semacam pencarian identitas-atau mungkin, pencarian ilusi bahwa saya sedang tumbuh jadi pribadi intelektual.
Saya nggak tahu siapa yang pertama kali bilang "don't judge a book by its cover", tapi jelas saya bukan pengikut paham itu. Dalam dunia perbukuan versi saya saat itu, cover dan judul adalah segalanya. Saya bisa berdiri cukup lama di rak buku hanya untuk menatap desain sampul yang estetik, warna-warna yang adem, dan font judul yang terkesan "dalam". Kalau judulnya terdengar puitis atau filosofis, wah... langsung masuk keranjang.
Tumpukan Buku yang Dibeli, Belum Dibaca
Seiring waktu, koleksi buku yang saya beli tanpa perhitungan itu mulai menumpuk. Rak buku kecil di ruang tamu keluarga saya dulu jadi semacam museum pribadi-dipenuhi buku-buku yang tampak cerdas dari luar, tapi isinya belum sempat saya jelajahi. Ada novel Sherlock Holmes berbahasa Inggris-kalau ini memang tokoh favorit saya, buku psikologi pendidikan populer, dan tentu saja... beberapa buku filsafat yang hanya saya baca sampai halaman pengantar.
Lucunya, ada rasa puas tersendiri hanya dengan memilikinya. Buku-buku itu menjadi semacam hiasan intelektual yang membungkus rak buku saya dengan aura "anak muda yang (seolah) berpikir dalam". Padahal kenyataannya, buku itu lebih sering dilirik daripada dibuka.
Kalau dipikir-pikir, saya nggak sendirian. Banyak teman saya juga punya kebiasaan yang sama: beli buku dulu, baca entar. Seolah-olah, membeli buku adalah bentuk investasi niat. Membacanya bisa nanti... entah kapan.
Buku Filsafat: Paling Aneh tapi Paling Berkesan
Dari semua buku yang saya beli secara impulsif, buku-buku filsafat menempati posisi paling "aneh tapi berkesan". Aneh---karena jujur saja, saya nyaris tidak mengerti isi tulisannya. Tapi berkesan, karena keberadaannya membuat saya merasa... sedikit lebih intelektual. Atau setidaknya terlihat seperti itu.
Satu buku yang paling saya ingat adalah yang membahas tentang eksistensi manusia. Saya bahkan tidak paham apa itu eksistensialisme. Saya membayangkan suatu hari saya bisa mengutip kalimat itu dalam obrolan santai di kafe, padahal belum tahu konteksnya apa.