Meski membawa banyak manfaat, soft spoken parenting juga menyimpan potensi bumerang jika tidak diimbangi dengan batasan yang jelas dan pembiasaan menghadapi realitas keras.
Terlalu berfokus pada kelembutan tanpa mengajarkan ketahanan bisa menimbulkan beberapa risiko berikut:
1. Anak menjadi terlalu sensitif terhadap kritik.Â
Karena terbiasa dengan komunikasi yang serba hati-hati, anak bisa kesulitan menerima kritik yang disampaikan dengan gaya tegas atau tanpa embel-embel pujian. Akibatnya, mereka mudah merasa terluka, tersinggung, atau bahkan mundur saat mendapat evaluasi.
2. Rendahnya toleransi terhadap stres dan tekanan.Â
Dunia nyata — baik di sekolah, lingkungan sosial, maupun kelak di dunia kerja — tidak selalu penuh kelembutan. Anak yang jarang dihadapkan pada situasi penuh tantangan atau ketidaknyamanan bisa menjadi mudah frustrasi, menyerah lebih cepat, atau enggan mencoba kembali setelah gagal.
3. Sulit berhadapan dengan figur otoritatif.Â
Guru yang disiplin, atasan yang menuntut, atau rekan kerja yang keras kepala adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan. Anak yang dibesarkan hanya dengan suasana penuh pengertian bisa mengalami shock saat bertemu dengan sosok otoritatif yang tidak selalu sabar.
4. Risiko berkembangnya pola ketergantungan emosional.Â
Ketika anak selalu dilindungi dari ketidaknyamanan, mereka bisa menjadi terlalu bergantung pada dukungan eksternal untuk merasa aman, alih-alih membangun ketangguhan internal.
Dengan kata lain, tanpa fondasi kemandirian, soft spoken parenting bisa tanpa sadar "melembutkan" daya juang anak-anak yang justru mereka butuhkan untuk bertahan dan berkembang di dunia nyata.
Soft Spoken Bukan Berarti Lembek: Kunci Keseimbangan
Meskipun banyak manfaat yang ditawarkan oleh soft spoken parenting, kunci dari pengasuhan yang berhasil terletak pada keseimbangan. Orangtua perlu memahami bahwa kelembutan dalam berkomunikasi tidak harus mengorbankan batasan yang tegas dan prinsip yang jelas.
1. Menetapkan batas yang jelas tanpa mengurangi kasih sayang.Â
Anak tetap membutuhkan pedoman yang tegas agar mereka tahu batasan dan konsekuensi dari tindakan mereka. Namun, hal ini bisa disampaikan dengan cara yang penuh perhatian, misalnya dengan menjelaskan alasan di balik aturan atau memberikan pilihan. Dengan begitu, anak belajar memahami tanggung jawab tanpa merasa tertekan atau dikendalikan.
2. Mengajarkan resiliensi dan keterampilan mengelola stres.Â
Selain memberikan rasa aman emosional, orangtua harus mulai mengajarkan anak-anak cara menghadapi kegagalan dan ketidaknyamanan. Dengan melibatkan mereka dalam kegiatan yang menantang dan memberikan kesempatan untuk mencoba lagi setelah gagal, anak belajar mengembangkan ketahanan mental yang sangat penting.
3. Mengintegrasikan pendekatan yang fleksibel.Â
Setiap anak unik, dan pendekatan yang sama tidak selalu efektif. Orangtua perlu menyesuaikan gaya pengasuhan mereka dengan kebutuhan masing-masing anak, terkadang menerapkan ketegasan jika dibutuhkan, dan di lain waktu memilih pendekatan yang lebih lembut. Fleksibilitas ini membantu anak merasa aman namun tetap siap menghadapi dunia luar.
4. Memberikan contoh ketangguhan melalui tindakan.Â
Anak-anak belajar tidak hanya dari apa yang kita katakan, tetapi juga dari apa yang kita lakukan. Orangtua yang mampu menunjukkan ketangguhan dalam menghadapi tantangan hidup, mengelola stres dengan bijak, dan tetap tenang dalam menghadapi kesulitan, akan menjadi teladan bagi anak-anak mereka.