Mohon tunggu...
Kristanto Irawan Putra
Kristanto Irawan Putra Mohon Tunggu... Plastic Waste & Circular Economy Specialist

UNIKA Program Magister Lingkungan dan Perkotaan l SMA TN Angkatan XVIII l Direktur Bank Sampah Induk Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Nature

Asap di Pulau Banda: Kebiasaan, Kesehatan, dan Pengelolaan Sampah di Pulau-pulau Kecil Kita

16 Agustus 2025   00:54 Diperbarui: 16 Agustus 2025   06:53 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore ini, saya berjalan melewati Istana Mini Banda---salah satu ikon di pulau kecil Maluku Tengah karena menyimpan begitu banyak sejarah. Angin sore biasanya membawa aroma laut dan suara burung camar. Tapi kali ini, yang datang justru "serangan udara".

Dari beberapa titik di kejauhan, terlihat asap mengepul. Warnanya putih keabu-abuan, menutup pandangan, dan---yang paling terasa---menusuk hidung, membuat dada sesak. Di sini, pemandangan seperti ini bukan hal baru. Membakar sampah, bagi sebagian warga, adalah cara cepat untuk "menghilangkan masalah" yang ada di halaman rumah.

Membakar: Seakan memang Hilang, tapi ternyata tidak benar-benar Hilang

Saya mencoba memahami kenapa orang memilih membakar: Praktis, murah, dan sampah habis berkurang volumenya. 

Tinggal di pulau-pulau kecil, warga di sini memang tidak memiliki pilihan membuang sampah ke TPA seperti di Pulau Jawa.

Sayangnya, ketika plastik ikut terbakar, ia tidak benar-benar hilang. Ia berubah menjadi dioksin---racun tak terlihat yang diam-diam masuk ke paru-paru, darah, bahkan rantai makanan. Saya teringat studi kasus di Desa Tropodo, Sidoarjo. Penelitian menemukan bahwa pembakaran plastik skala rumah tangga di sana menghasilkan tingkat dioksin yang tinggi, hingga mencemari telur ayam kampung yang dikonsumsi warga. Itu artinya, asap itu tidak hanya ada di udara---ia masuk ke tubuh kita, sedikit demi sedikit.

Menimbun dan Menghidupkan Tanah Kembali dengan Bioaktivator

Alternatif lain yang biasa dilakukan adalah membuat lubang di tanah, lalu menimbun sampah di sana. Memang tidak ada asap, tapi itu bukan berarti tanpa masalah. Sampah organik yang tertimbun tanpa pengelolaan justru menghasilkan lindi (cairan hitam berbau busuk) yang bisa meresap ke air tanah. Hal ini membuat banyak organisme tanah mati akibat polusi. Belum lagi, sampah plastik yang tercampur di antaranya telah menutup akses cahaya matahari, dan air yang  seharusnya meresap ke dalam tanah. Karena banyak organisme tanah mati, wajar saja jika saat ini proses penguraian alami menjadi lambat.

Di titik inilah saya teringat latar belakang saya di Bioteknologi Molekuler. Tanah yang kehilangan mikroorganisme harus "dihidupkan kembali" agar bisa mengurai sampah organik dengan cepat. Caranya? Gunakan bioaktivator---konsorsium mikroba pengurai yang mempercepat komposisi. Analoginya sama seperti Iklan Minuman Y*kult: Bakteri baik perlu ditambahkan untuk membantu pencernaan di usus. Bioaktivator perlu ditambahkan untuk mempercepat penguraian alami di Bumi.  

Dan yang menarik, kita tidak selalu harus membeli bioaktivator kemasan. Kita bisa membuatnya sendiri dengan memanfaatkan kulit buah, sayuran, dan gula merah untuk menghasilkan eco enzyme---cairan ajaib yang membantu mengurai organik, menyehatkan tanah, bahkan bisa mengusir bau. Di Indonesia, ada beberapa komunitas yang dapat dijadikan referensi belajar terkait pembuatan dan pemanfaatan eco enzyme, misalnya Komunitas Eco Enzyme Nusantara (EEN).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun