Mohon tunggu...
Engkos Koswara
Engkos Koswara Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah/ SMA Negeri Situraja

Semakin Berisi Semakin Merunduk

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membangkitkan Gelora Nasionalisme Bangsa Melalui Sastra

7 Juni 2023   17:31 Diperbarui: 7 Juni 2023   17:37 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sehingga benih-benih nasionalisme muncul dengan sendirinya pada diri orang Indonesia yang salah sangka terhadap Jepang. Pada awalnya bangsa Indonesia menganggap Jepang adalah saudara Asia nya yang akan melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan, tetapi malah sebaliknya Jepang adalah penjajah ulung yang berkedok persaudaraan Asia Raya.

Setelah Indonesia merdeka, lebih tepatnya setelah masa revolusi fisik berakhir, peran sensor yang dilakukan baik oleh Balai Pustaka maupun oleh Djawa Shimbun Kai tersebut sudah tidak nampak lagi. Karena bangsa Indonesia telah bebas mengatur pemerintahannya sendiri tidak lagi ditekan dan datur setiap langkahnya oleh negara penjajah. Oleh sebab itu pada masa awal-awal kemerdekaan di tahun 1950-an banyak bermuculan karya sastra yang beragam, dengan tidak adanya sensor dan pembredalan terhadap tema-tema sastra yang berbau perjuangan, kritik pedas terhadap pemeritah, dan nasionalisme. Maka tahun ini adalah tahunnya bagi karya sastra kreatif di Indonesia. Para pujangga-pujangga baru bermunculan dengan mengangkat latar belakang cerita yang heroik dan penuh kepahlawanan. Bermunculannya karya-karya sastra bertema nasionalisme dan semangat kebangsaan dapat dimaknai sebagai gambaran umum mengenai situasi dan kondisi pada zamannya yang berkaitan dengan faktor-faktor berikut ini (Dahana, dkk, 2012, hlm. 79) :

Pengalaman perang revolusi disadari sebagai lahan yang kaya sehinga dapat dimanfaatkan sebagi lattar dan tema cerita;
Sastra indonesia pada masa itu memperlihatkan potret masyarakat yang sesuai dengan reaitas sosial yang ada;
Terlihat dari tema-tema karya sastra pada masa itu, mencerminkan ideologi dan amanat pengarangnya yang tidak terlepas dari semangat zamannya;
Semangat zaman yang tumbuh dan berkembang serta mendominasi kehidupan masyarakat indonesia pada masa itu adalah semangat kebangsaan.
Dengan begitu, tema-tema sastra yang berhubungan dengan semangat kebangsaan, kepahlawanan, peperangan, dan nasionalisme menjadi bahan yang banyak beredar di masyarakat yang tidak lagi dikekang oleh sensor penjajah.  
Kesusasteraan Indonesia pada tahun 1950-an ditandai dengan tema-tema yang berhubungan dengan kegetiran yang terjadi pada perang kemerdekaan (Dahana, dkk, 2012, hlm. 77). Contohnya, ada novel karangan Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Keluarga Gerilya (Pembangunan, 1950) yang bercerita tentang kegetiran hidup keluarga pada masa revolusi fisik. Selanjutnya Pramoedya juga menulis novel yang berjudul Perburuan (Balai Pustaka, 1950) yang menceritakan tentang sisi gelap akibat perang revolusi. Kemudian karyanya yang lain adalah Dia jang Menjerah (Balai Pustaka, 1950), Mereka jang Dilumpuhkan (Balai Pustaka, 1951), dan Di Tepi Kali Bekasi (Gapura, 1951). Lattar dan tema yang diangkat oleh seorang Pramoedya Ananta Toer sendiri berasal dari catatan kehidupannya yang kelam, sebagai seorang sastrawan yang sering membuat karya-karya yang kritis terhadap kolonialisasi Belanda, ia sering kali dijebloskan ke dalam penjara, kegetiran hidupnya itu dijadikan sebagai lattar dari hampir semua karya sastranya tersebut.
Ada pula Mochtar Lubis, seorang sastrawan kawakan yang menulis novel berjudul Tak Ada Esok (Gapura, 1950), sebuah novel yang menceritakan tentang perjuangan fisik maupun psikis yang dialami oleh seorang pejuang, yaitu Kapten Johan dalam menghadapi pasukan Belanda. Mochtar Lubis juga menulis novel yang berjudul Djalan tak Ada Ujung (Balai Pustaka, 1952) yang mengungkap bagaimana nasionalisme, keberanian bahkan pengkhianatan pada diri salah seorang tokohnya yaitu Guru Isa. Sejumlah novel lain yang bertema perang revolusi adalah Akibat Perang (1950) dan Zaman Gemilang (1950) karya Matu Mona dan ada juga novel berjudul Yogya Diduduki (1950) karya Muhammad Dimyati.
Tema nasionalisme sendiri coba diangkat oleh Abdul Muis melalui karya sastranya yang berjudul Surapati (Balai Pistaka, 1950) dan Robert Anak Surapati (Balai Pustaka, 1950). Di dalam novel yang pertama diceritakan bagaimana  perkawinan Surapati dengan puteri bangsawan Belanda bernama Suzanne, dan perjuangan Surapati dalam melawan Belanda. Novel yang kedua menceritakan bagaimana Robert sebagai anak dari dua bangsa, ibunya orang Belanda dan ayahnya orang Indonesia. Robert yang berpihak pada ibunya harus melawan ayahnya sendiri di medan perang, dan akhinya harus terbunuh di peperangan dengan ayahnya tersebut. Jelas sekali jika pengalaman para sastrawan di atas selama hidup di masa perang kemerdekaan menjadi bahan dalam setiap karya sastranya. Peristiwa perang kemerdekaan menjadi suatu cerita yang menarik, heroik sekaligus mengharukan, dimana para sastrawan tersebut pada dasarnya mencoba memasukan nilai-nilai kepahlawanan, semangat kebangsaan, dan rasa nasionalisme dalam setiap karya sastranya untuk menggambarkan betapa patriotik dan heroiknya perjuangan bangsa Indonesia pada masa itu.
Simpulan
Jika sastra dalam hal-hal tertentu bisa dianggap sebagai dokumen sosial, potret masyarakat, atau semangat zamannya, maka sejumlah karya sastra yang mengangkat tema-tema sekitar peristiwa pada zaman Jepang dan perang kemerdekaan menunjukkan hal tersebut (Dahana, dkk, 2012, hlm. 79). Pada dasawarsa tahun 1950-an para sastrawan Indonesia telah memanfaatkan kemerdekaan kreatifnya untuk mengangkat dan menguak masalah-masalah yang nyata dialami bangsanya. Jika dilihat dari peran yang dilakukan oleh sastrawan pada dasawarsa tahun 1950-an, terlihat jelas bahwa sastrawan telah memainkan peran dalam menumbuhkan semangat kebangsaan dan jiwa kepahlawanaan melalui karya-karya yang pruduktif. Slogan-slogan seperti "Merdeka atau Mati", "Maju Terus Pantang Mundur", "Sampai Titik Darah Penghabisan:, atau bahkan "Maju Tak Gentar" berhasil diterjemahkan ke dalam bentuk-benuk karya sastra yang bergelora pada kala itu. Sekali lagi peran sastrawan sangat krusial dalam menumbuhkan jiwa patriotisme dan nasionalisme bangsa Indonesia melalui karya sastranya.
Karya-karya sastra di era sekarang, yang boleh kita sebut sebagai masa reformasi. Sudah selayaknya kembali mengangkat rasa kebangsaan, nasionalisme, dan patriotisme dari pada hanya mengangkat tema-tema percintaan, kegalauan remaja, atau hanya mengangkat tema humor belaka. Mengingat bangsa ini akan dan bahkan sedang menghadapi arus globalisasi dan modernisasi yang begitu pesat. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang lupa akan sejarahnya, kehilangan jati diri, dan tidak berbudaya. Melalui sastra, semoga bisa menjadi media yang efektif untuk kembali menggelorakan nasionalisme dan patriotisme bangsa Indonesia. Dengan begitu maka tantangan dari mana pun, dari negara mana pun, atau dari pihak mana pun pastinya siap kita hadapi. Karena kita adalah bangsa yang besar, bangsa yang tidak hanya menghargai sejarah dan pahlawannya, tetapi bangsa yang mampu meneruskan perjuangan pahlawannya terdahulu demi kegemilangan di hari ini dan di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Dahana, dkk. (2012). Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid VI. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kahin, M. G. (2013). Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
Kartodirdjo, S. (2014). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid II. Yogyakarta: Ombak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun