Mohon tunggu...
Kopi santri
Kopi santri Mohon Tunggu... Lainnya - Berpeci pecinta kopi

Membaca atas nama Tuhan, Menulis untuk keabadian, Bergerak atas dasar kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Perkembangan Tasawuf dalam Islam

13 Juni 2021   12:19 Diperbarui: 13 Juni 2021   13:43 2061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Buku Saku Tasawuf Praktis Pustaka Ilman

Untuk memulai tulisan ini, sangat menarik kiranya penulis mengutip sebuah pernyataan dari Syekh Nursamad Kamba dalam bukunya yang berjudul Kidz Zaman Now yang pada awal tulisannya beliau mengatakan, "Bertasawuf Adalah Berislam Itu Sendiri". Mengapa demikian? 

Jawannya sebagaimana yang sudah penulis paparkan pada bagian awal tulisan. Banyak orang yang mempertanyakan posisi tasawuf dalam Islam atau bahkan ada yang beranggapan bahwa tasawuf merupakan hal yang baru dalam Islam. Padahal, tasawuf dan Islam bukan merupakan dua hal yang berbeda melainkan satu-kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan. Adapun mengenai tiga dimensi agama Islam adalah Iman, Islam, dan Ihsan. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW.

Menurut Muhammad Nursamad Kamba atau yang akrab disapa oleh masyarakat Maiyah dengan Syekh Kamba, terdapat empat topik utama dalam hadis ini. Tiga di antaranya merupakan tiga dimensi agama yakni Islam atau kepasrahan diri, Iman atau kepercayaan, dan Ihsan atau aktualisasi diri. Sedangkan, satu topik lagi adalah tentang hari Kiamat yang mana Rasulullah SAW tidak bersedia untuk menjelaskannya. Syekh Kamba berpendapat bahwa tidak menutup kemungkinan pembahasan tentang tanda-tanda hari Kiamat merupakan penambahan dari para riwayat hadis. Adapun pembahasan lebih lanjut tentang dimensi Islam, Iman, dan Ihsan sebagai berikut.

Dimensi Islam

Kata Islam, berasal dari bahasa arab, aslama-yuslimu- islaman yang mengandung arti keselamatan. Berdasarkan arti kata Islam (keselamatan) tersebut, berarti sangat membutuhkan adanya faa'il atau subjek sebagai pelaku dari Islam. Adapun pelaku dari Islam itu adalah Muslim, yang berarti pelaku keselamatan atau sang penyelamat. 

Pengertian semacam ini, dapat memicu munculnya sifat sombong dari dalam diri Muslim itu sendiri. Karena, seorang Muslim tersebut merasa dirinya memiliki kemampuan untuk menyelamatkan orang lain. Sedangkan Allah telah berfirman, " Sesungguhnya kamu tidak akan bisa memberi petunjuk kepada siapa pun yang kamu cintai, melainkan Allah lah yang memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya..." (Q.S Al-Qashas: 56.)

Oleh sebab itu, Nabi Muhammad SAW ingin menegaskan bahwa maksud dari Islam yang telah ditanyakan malaikat Jibril kepadanya adalah sifat penyerahan diri atau kepasrahan diri seorang hamba kepada Tuhannya. Sifat kepasrahan itu dibuktikan dengan menyaksikan bahwasannya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadan, dan beribadah haji jika mampu melaksanakannya. 

Lebih lanjut, Sifat kepasrahan ini begitu esensial dalam mendidik diri untuk selalu rendah hati dan menjaga tatanan sosial dalam ber-kehidupan.  Jika orang mampu hidup dalam kepasrahan dan berserah diri kepada-Nya, maka orang tersebut telah menjadikan Allah SWT sebagai poros kehidupannya.

Syahadatain atau Penyaksian

 Ajaran Islam merupakan ajaran yang bersifat universal, dan mendalam. Misalnya, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim di atas, betapa cerdasnya Rasulullah SAW dalam menjelaskan kepada para sahabat tentang  dimensi Islam, Nabi menggunakan fi'il mudhori' yakni kata kerja yang menunjukkan sekarang dan yang akan datang. 

Sehingga, dua kalimat syahadat memiliki arti Aku sedang menyaksikan dan terus akan menyaksikan bahwasannya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Jika pengertian seperti ini tertanam dalam diri setiap hamba. Maka, dirinya akan mampu menciptakan kepasrahan diri secara penuh kepada Allah SWT, karena dalam setiap saat dirinya selalu merasakan kecil dan hina dihadapan-Nya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun