Mohon tunggu...
Kompasianer Jogja (KJOG)
Kompasianer Jogja (KJOG) Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas Blogger Jogjakarta (dan sekitarnya) yang menulis di Kompasiana

Kompasianer Jogja (KJOG) adalah Komunitas Blogger Jogjakarta (dan sekitarnya) yang menulis di Kompasiana. KJOG terbuka bagi blogger Kompasiana asal Jogja (diaspora) atau yang memiliki kecintaan pada Jogja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sound of Borobudur: Reinterpretasi Seni dalam Relief Candi Borobudur

8 Mei 2021   16:24 Diperbarui: 9 Mei 2021   00:52 2689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto 1: Foto Relief Borobudur | Dok. Kompasianer Jogja (K-JOG)

Benarkah bahwa dulu Candi Borobudur adalah pusat peradaban, bahkan menjadi repository terlengkap di dunia pada masanya untuk keberadaan alat-alat musik yang terekam dalam sebuah situs sejarah? Ya, kabar membanggakan ini terdengar dari Seminar dan Lokakarya "Borobudur sebagai Pusat Musik Dunia" yang terlaksana pada 7-9 April 2021 lalu.

Candi Borobudur "Tujuh Keajaiban Dunia"

Siapa yang tak tahu Borobudur? Candi yang ditetapkan sebagai Destinasi Super Prioritas (DSP) oleh Pemerintah Indonesia ini telah sukses menarik wisatawan dari berbagai penjuru dunia setiap tahunnya. Candi megah yang berlokasi di Magelang ini memiliki bentuk unik layaknya piramida, dengan tinggi sekitar 29 meter. Tersusun lebih dari 2 juta blok batu, candi ini juga berhias 1.460 panil relief cerita dan 1.212 panil relief dekoratif dengan nilai histori yang kental.

Foto 2: Candi Borobudur | Dok. Kompasianer Jogja (K-JOG)
Foto 2: Candi Borobudur | Dok. Kompasianer Jogja (K-JOG)
Sempat menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia, pesona salah satu candi terbesar di dunia ini memang tak terelakkan lagi. Candi yang menurut perkiraan dibangun dalam kurun waktu sekitar 75 tahun ini tampak berbentuk seperti mandala raksasa jika dilihat dari atas. Ya, ini menggambarkan perjalanan manusia dari samsara menuju nirwana.

Inti pesan spiritual yang tergambar di Candi Borobudur, di mana dunia dibagi menjadi tiga tingkatan hidup, terlukis pada relief Candi Borobudur. Nah, tiga tingkatan hidup (dari bawah ke atas) ini adalah Kamadhatu (dunia keinginan), Rupadhatu (dunia nyata) dan Arupadhatu (dunia roh).

Pahatan relief pada dinding candi ini bukan saja bernilai sebagai seni untuk dinikmati sisi indah dan uniknya, namun relief-relief ini adalah mega perpustakaan yang merekam jejak ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang telah dicapai leluhur kita 13 abad yang lalu. Borobudur merupakan literatur dan dokumentasi perjalanan lelaku dari nenek moyang kita.

Ketika Borobudur Menjadi Titik Pertemuan Lintas Bangsa dan Budaya

Selain bercerita tentang kisah Sang Buddha Gautama, relief Candi Borobudur juga mengisahkan tentang suasana alam, bangunan tradisional nusantara, perahu, bahkan alat-alat musik yang berkembang pada zamannya. Di sinilah sebuah warisan budaya mulai terkuak, dan lahirlah Gerakan Sound of Borobudur.

Foto 3: Foto Relief Borobudur karya Adolf Schaefer (1845) | Ilustrasi via soundofborobudur.org
Foto 3: Foto Relief Borobudur karya Adolf Schaefer (1845) | Ilustrasi via soundofborobudur.org
Pada masa 13 abad yang lalu, Candi Borobudur menjadi salah satu pusat budaya dunia, dalam hal ini adalah musik. Alasannya? Ya, jika berkunjung ke candi yang dibangun pada masa Wangsa Syailendra ini, kita akan menemukan 226 relief alat musik yang terpahat pada 40 panel relief, bahkan menampilkan lebih dari 40 jenis instrumen alat musik.

Realitanya, pada era tersebut, tidak ada situs-situs sejarah lain di dunia yang menampilkan pahatan relief alat musik sebanyak yang ada di Candi Borobudur. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa di masa lalu, Borobudur merupakan titik pertemuan lintas bangsa dan lintas budaya.

Dapat dikatakan pula bahwa penyebaran alat-alat musik tersebut ke berbagai penjuru nusantara, bahkan dunia, bisa jadi berawal dari Borobudur. Atau sebaliknya, Borobudur menjadi tempat berkumpul dan bertemunya para pemain musik dari berbagai penjuru nusantara dan dunia.

Nah, untuk terus melestarikan warisan budaya ini, para seniman tanah air berupaya untuk "membunyikan" kembali alat-alat musik yang telah eksis di masa lalu.

Gerakan Sound of Borobudur: Reinterpretasi Budaya dan Ilmu Pengetahuan Melalui Musik

Foto 4: Sound of Borobudur Membunyikan Kembali Alat Musik dari Abad Ke 8 Ilustrasi via soundofborobudur.org
Foto 4: Sound of Borobudur Membunyikan Kembali Alat Musik dari Abad Ke 8 Ilustrasi via soundofborobudur.org
Gerakan membunyikan kembali alat-alat musik dari masa lampau ini bukan sekadar menambah kilau Borobudur di mata dunia. Lebih dari itu, yaitu meninjau keberadaan khazanah alat musik Nusantara, di mana informasi dan bukti sejarahnya terpahat secara nyata pada relief candi Borobudur.

Gerakan Sound of Borobudur sendiri menjadi media penafsiran ulang para seniman akan sejarah bangsanya, juga kekayaan budaya yang dimiliki leluhur bangsa ini. Ditunjang dengan bukti-bukti dan kajian secara akademis, gerakan ini menjadi gerakan lintas suku/etnis, lintas disiplin ilmu, lintas bangsa, juga lintas agama.

Nah, berpijak pada landasan kajian ilmiah yang ada, gerakan Sound of Borobudur juga akan diaplikasikan dalam beragam ruang pemberdayaan. Tentu saja, ini harus diselaraskan dengan perkembangan zaman yang sangat dinamis dan serba praktis. Beragam isu strategis tentu bisa menjadi bagian dari setiap alunan instrumen yang tercipta.

Foto 5: Alat Musik 13 Abad Lalu | Ilustrasi via soundofborobudur.org
Foto 5: Alat Musik 13 Abad Lalu | Ilustrasi via soundofborobudur.org
Sound of Borobudur Movement merupakan upaya anak bangsa untuk mengenali kebesaran peradaban di masa lampau, di mana budaya dan ilmu pengetahuan di-reinterpretasikan melalui seni. Hal ini sekaligus menjadi pemantik semangat agar masyarakat semakin mencintai bangsanya.

Menjadi pewaris kekayaan yang tak ternilai harganya, baik itu nilai dan tatanan diri, kemasyarakatan, kenegaraan dan tatanan untuk pengelolaan alam secara seimbang, bangsa kita memang patut berbangga, sekaligus wajib untuk menjaga, melestarikan, dan mengembangkannya, agar bisa makin memberi nilai kemanfaatan bagi masyarakat dan bangsa.

Harapannya, Sound of Borobudur Movement tak sekadar menghibur, namun juga menjadi pemersatu bahkan solusi untuk mengatasi berbagai masalah bangsa, baik di masa kini maupun di masa yang akan datang.

Eksistensi Sound of Borobudur Movement dari Waktu ke Waktu

Jika selama ini kebanyakan wisatawan sekadar menjadikan Borobudur sebagai latar belakang untuk berswafoto, kini kita bisa menggali lebih dalam lagi kekayaan budaya dari situs bersejarah ini. Melalui Sound of Borobudur, masyarakat diharapkan dapat lebih "merasakan", mengapresiasi dan menghargai Borobudur, bahkan ketika orang tidak menginjakkan kakinya sekalipun di area candi.

Foto 6: Penampilan perdana formasi SOB bersama Didik Nini Thowok dalam Borobudur Cultural Fest 2016 | Ilustrasi via soundofborobudur.org
Foto 6: Penampilan perdana formasi SOB bersama Didik Nini Thowok dalam Borobudur Cultural Fest 2016 | Ilustrasi via soundofborobudur.org
Ide tentang Sound of Borobudur berawal dari aktivitas "Sonjo Kampung" dan selebrasi pentas seni budaya di lima panggung dalam rangkaian kegiatan Borobudur Cultural Feast pada pertengahan Oktober 2016. Beberapa seniman berdiskusi tentang literatur buku foto-foto karya Kassian Cephas tentang relief Karmawibhangga di kediaman KRMT Indro Kimpling Suseno, sang pemrakarsa Borobudur Cultural Feast.

Mereka adalah tim Japung Nusantara (Jaringan Kampung Nusantara) yang terdiri dari Trie Utami, KRMT Indro Kimpling Suseno, Rully Fabrian, Bachtiar Djanan juga Redy Eko Prastyo. Setelah menemukan foto-foto alat musik di relief Karmawibhangga, muncul ide brilian untuk kembali menghadirkan alat-alat musik tersebut dalam wujud fisik dan membunyikannya.

- Tahun 2016
Rekonstruksi awal tiga instrumen musik dawai dipercayakan kepada Ali Gardy Rukmana, seniman muda dari kota Situbondo, Jawa Timur. Setelah dipamerkan pada acara Sonjo Kampung yang bertempat di Omah Mbudur, tiga alat musik ini akhirnya diluncurkan dalam acara pembukaan Borobudur Cultural Feast pada tanggal 17 Desember 2016 di lapangan Lumbini, di area Candi Borobudur, yang dimainkan oleh Dewa Budjana, Redy Eko Prastyo, Rayhan Sudrajat, Ali Gardy, Agus Wayan, John Arief, Trie Utami dan Didik Nini Thowok.

- Tahun 2017
Trie Utami, Dewa Budjana, dan para seniman terus mengeksplorasi, meriset, mewujudkan, dan membunyikan kembali berbagai alat musik yang tepahat di relief-relief candi Borobudur. Pada bulan Januari 2017, Sound of Borobudur kembali tampil pada kegiatan BUMN Hadir Untuk Negeri "Explore Borobudur", dengan formasi 8 musisi.

Selanjutnya, pada acara Borobudur International Festival 2017 yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, di bulan Juli 2017, pergelaran seni budaya lintas bangsa ini ditutup oleh pementasan Sound of Borobudur, masih dengan formasi 8 orang personil.

- Tahun 2020
Semakin serius mengembangkan ide, komponis senior, Purwa Tjaraka dilibatkan dalam proyek ini. Pada tanggal 6 Januari 2020, Sound of Borobudur tampil dengan formasi 14 personil dan instrumen yang semakin bertambah, dalam puncak acara Festival Pamalayu di Candi Padang Roco, Kabupaten Dharmasraya.

Saat ini Sound of Borobudur telah berhasil merekonstruksi sebanyak 18 instrumen dawai dari kayu, 5 instrumen dari gerabah, dan satu buah instrumen idiophone yang terbuat dari besi. Tentu, ini tak lepas dari kerja keras tim dalam melakukan pengumpulan data, wawancara, riset studi literasi, dan rekonstruksi pembuatan alat-alat musik yang bentuknya diambil dari pahatan relief Borobudur (2017-2019).

Sound of Borobudur: Revitalisasi Nilai dari Borobudur itu Sendiri

Foto 7: Sound of Borobudur Movement | Ilustrasi via soundofborobudur.org
Foto 7: Sound of Borobudur Movement | Ilustrasi via soundofborobudur.org

Menjadi sebuah orkestra besar yang melibatkan 40 musisi dalam proses penciptaan, aransemen, dan album rekaman yang berisi 12 komposisi lagu, Sound of Borobudur bakal semakin terdengar gemanya di seluruh penjuru tanah air. Digawangi oleh Purwa Tjaraka sebagai Executive Producer, beragam instrumen megah warisan nenek moyang ini segera bisa dinikmati masyarakat.

Gerakan Sound of Borobudur kini menjelma menjadi sebuah gerakan kebangsaan. Hal ini jelas terlihat dalam tujuan gerakan untuk penguatan budaya, jati diri, serta identitas bangsa. Melalui gerakan ini pula, Borobudur menebar benih kebaikan, terutama melalui nilai toleransi, kebhinekaan, rasa cinta tanah air, juga membangun jiwa nasionalisme.

Kemudian pekerjaan besar selanjutnya adalah bagaimana warisan leluhur yang dikembangkan melalui Sound of Borobudur dan berbagai turunannya ini mampu berkembang menjadi ruang pemberdayaan dan gerakan ekonomi yang bisa ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar candi.

Proses revitalisasi itu sudah dimulai, alat musik telah direkonstruksi, kemudian dimainkan dengan reinterpretasi kekinian. Ini adalah pembuktian bahwa Borobudur itu adalah sebuah perpustakaan, bukan sekadar gagasan dan kajian, namun bisa dibuktikan (Dr. Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI).

Tertarik dengan Sound of Borobudur? Yuk Ceritakan Kisahmu dalam Blog Competition di Kompasiana

Berbicara tentang alat musik, relief candi Borobudur ataupun kearifan lokal yang terbentuk di area situs bersejarah ini, apa saja kisah menarikmu? Yuk ceritakan bagaimana musik bisa memberikan warna dalam hidup dan apa pandanganmu terkait "Sound of Borobudur" dalam Blog Competition ini! 

Good luck ya, karena 10 Pemenang akan mendapatkan hadiah Travelling ke Borobudur selama 5 hari, termasuk Tiket Pesawat PP, Transportasi Lokal Tujuan, Akomodasi (Hotel & Konsumsi), Uang Saku selama 5 Hari juga Tiket International Conference.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun