Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Christopher Reinhart: Saya Belajar Sejarah demi Menghindari Matematika

15 Agustus 2022   22:45 Diperbarui: 16 Agustus 2022   05:31 2118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Christopher Reinhart, Peneliti Bidang Sejarah. (Ilustrasi diolah Kompasiana)

Ketika Kompasiana bertatap muka secara daring dengan Christopher Reinhart, ia sedang duduk di sebuah ruangan di kampus almamaternya. Tepatnya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). Memang, kini Christopher Reinhart sedang bertugas menemani superiornya, yakni Profesor Peter Carey yang tengah menjalani residensi sebagai dosen tamu di Program Studi Ilmu Sejarah FIB UI.

Kami bertanya kepada Rei --demikian ia biasa disapa--- mengenai apa tepatnya istilah yang pas bagi profesi yang kini tengah dijalaninya. "Bolehkah kami sebut sebagai Sejarawan, Mas?" tanya kami.

"Sejarawan itu kan gelar yang diberikan oleh masyarakat. Jika Mas dan Mbak ingin menulis begitu, silakan. Tetapi kalau saya pribadi, biasanya saya selalu menyebut (profesi saya sebagai) Peneliti Sejarah."

Lahir pada bulan Agustus tahun 1998, Rei adalah seorang peneliti sejarah Era Kolonial Indonesia dan Asia Tenggara lulusan Ilmu Sejarah FIB Universitas Indonesia.

Ya Kompasianer, Anda tidak salah membaca. Rei belum genap berusia 25 tahun, tetapi kiprah dan karyanya sudah bertebaran. Tak hanya di dalam negeri, tetapi juga di mancanegara. Tulisannya telah dipublikasikan di banyak platform digital, media, dibukukan, dan bahkan menjadi rujukan studi. Salah satunya berjudul "Mempertahankan Imperium: Gubernur Jenderal Tjarda Van Starkenborgh-Stachouwer dan Akhir Hindia Belanda" yang diterbitkan Marjin Kiri (2021).

Kecintaan Rei terhadap dunia sejarah bermula ketika kecil. Saat ia mendengarkan cerita rakyat Jawa dari pengasuh dari orang-orang terdekatnya.

"Saya merasa mitos-mitos itu sophisticated. Kisah tentang candi, Tutur Tinular, dan lain-lain. Itu menjadi pintu awal saya menyukai budaya Jawa."

Berbekal menyukai kisah-kisah Jawa, ia pun sempat bimbang memilih jurusan kuliah: antara Susastra dan Ilmu Sejarah. Hal yang ia tahu pasti: ia tidak ingin mempelajari sesuatu yang ada hubungannya dengan Matematika.

"Tapi ternyata di Sejarah ada matematika juga sedikit. Hahahaha," ungkapnya sembari tertawa.

Awalnya, orangtua Rei tidak setuju bila anaknya belajar Ilmu Sejarah dan khawatir bakal kesulitan mencari pekerjaan setelah lulus. Tapi, setelah lulus Summa Cumlaude dengan IPK 3,95, orangtua Rei kini malah terheran-heran melihat anaknya memiliki profesi yang jelas-jelas cukup untuk membiayai hidup.

"Orangtua saya awalnya tidak setuju, bahkan sampai tidak ingin membiayai kuliah. Tapi, akhirnya Kakek saya yang mau membiayai kuliah."

Pada saat kuliah, Rei menaruh minat yang sangat besar pada periodisasi sejarah Islam dan Kesultanan. Meski demikian, sulitnya bahan bacaan dan sumber referensi yang terbatas pada sejarah Islam mengantarkannya bertualang ke sebuah era yang berbeda, yakni era kolonial Indonesia dan Asia Tenggara. Khususnya mulai tahun 1920-an hingga pra-kemerdekaan.

Rupanya, keputusannya itu tepat. Data dan sumber referensi untuk periode kolonial amatlah banyak. Ironisnya, peneliti sejarah pada era ini masih sangat sedikit. Masih banyak ceruk yang dapat diteliti sehingga peluang eksplorasi pun makin besar.

Keputusan ini pula yang akhirnya mempertemukan Rei dengan Peter Carey.

"Jadi waktu itu saya kesulitan mencari pembimbing skripsi karena mengangkat sejarah kolonial. Ada satu dosen yang periodisasinya mirip, tapi masih kejauhan. Itu Mas Bondan Kanumoyoso yang sekarang jadi Dekan FIB. Akhirnya saya disarankan untuk mengambil pembimbing eksternal, itu Pak Peter Carey. Mas Bondan itu periodisasinya VOC, Pak Peter Carey sekitar tahun 1820 saat Diponegoro. Masih jauh dengan skripsi saya, tetapi sudah lumayan dekat," ungkapnya.

Rei dan Netizen
Selain bisa mengenal insan dan lembaga sejarah internasional, ada lagi satu kebahagiaan bagi Kompasianer Christopher Reinhart: ketika tulisannya membantu masyarakat dan direspons oleh publik. Misalnya saat ia mempublikasikan tulisan perdananya di platform digital, yakni di Kompasiana.

Saat itu Rei masih berstatus sebagai seorang mahasiswa yang terkesan dengan materi dari dosennya. Daripada menguap begitu saja, hasil olah pikirnya pun ditumpahkan melalui seorang artikel yang dibaca oleh ratusan Kompasianer.

"Bagi saya audiens sebanyak itu sudah banyak sekali! Senangnya menulis di Kompaiana itu mendapat banyak apresiasi dari pembaca. Apalagi kalau mendapat 'Pilihan' dan lain-lain," ungkapnya.

Contoh lainnya ialah saat ia membuat utas di Twitter. Ia kerap berjumpa dengan pencinta sejarah yang berbeda pandangan. Meski begitu, Rei menyambutnya dengan sukacita.

"Sebenarnya berdiskusi tentang sejarah di Twitter itu asyik, kita jadi bisa tahu argumen orang-orang dengan rujukan dan referensi tambahan untuk dibaca dan diteliti lagi," ujar Rei.

Pasalnya, bagi Rei, ilmu sejarah bukanlah ilmu yang tabu didebat. Menurut Rei, kesepakatan sejarah yang telah dibuat bisa saja berubah di lain waktu seiring dengan ditemukannya bukti-bukti anyar.

Popularitas Rei di media sosial dimulai ketika pada tahun 2020 saat ia sudah bertugas sebagai asisten Peter Carey di Oxford University.

Saat itu Rei secara terbuka melakukan klarifikasi kepada pihak pers dan masyarakat atas kontroversi pencatutan nama Peter Carey dalam film dokumenter "Jejak Khilafah di Nusantara" (2020). Ia juga membeberkan hasil penelitiaannya bersama Peter Carey yang menyatakan bahwa hingga kini belum ditemukan bukti/arsip yang menunjukkan adanya hubungan historis antara kerajaan-kerajaan di Jawa dengan Kesultanan Ustmaniyah.

Atas pernyataan dan sikapnya itu, Rei mulai mendapat respons berupa serangan, apresiasi, hingga tuntutan netizen untuk mendiskusikannya lebih lanjut.

Respons ini adalah hal yang wajar. Rei menyadari bahwa sejarah tidak terbatas pada peristiwa, melainkan rangkaian peristiwa yang melatarbelakangi peristiwa tersebut. Demikian pula sejarah dapat pula dimaknai sebagai penyebab yang mengakibatkan fenomena masyarakat yang kita hadapi hari ini. Maka respons publik hari ini adalah hasil diskursus dari sejarah itu sendiri.

Tak hanya melulu obrolan akademis, Rei juga memiliki pengalaman unik saat berinteraksi dengan pembaca tulisannya.

"Pernah ada yang DM karena mungkin tahu saya peneliti sejarah, lalu meminta saya untuk mencarikan sejarah kakeknya," kata Rei, mengingat kejadian itu sambil tertawa. "Kakek saya tinggal di kota X. Bisa nggak, dicarikan sejarahnya?" lanjutnya lagi menirukan bunyi pesan dari pembaca artikelnya.

Tugas Sejarawan di Era Pascakebenaran
"Menjadi peneliti (sejarah) itu kerjaannya fun; nulis dan riset. Bisa dibilang kerjaan sejarawan itu seperti jurnalis," ungkap Kompasianer Christopher Reinhart.

Rei senang sekali pekerjaannya itu bisa membawanya pergi ke luar kota dan luar negeri, hingga bertemu orang baru. Ia bahkan kerap mendapatkan inspirasi bagi pengembangan Ilmu Sejarah di Indonesia!

Misalnya, seperti belum lama ini Christopher Reinhart baru saja pulang dari Koninklijke Bibliotheek (KB) perpustakaan nasional Belanda untuk mendigitalisasi arsip-arsip untuk mengidentifasi tulisan tangan menggunakan Artificial Intelligent (AI).

Ia berandai-andai apabila suatu hari nanti Indonesia memiliki semacam search engine serupa yang dapat membantu masyarakat untuk menemukan naskah tulisan tangan lama hanya dengan berbekal memasukkan kata kunci tertentu.

Tak hanya inpsirasi pengembangan, Rei juga pernah merefleksikan bagaimana cara masyarakat Indonesia berinteraksi dengan sejarah bangsanya. Ada dua kekhawatiran Rei mengenai hal ini.

Yang pertama, ia menyayangkan masih banyak masyarakat yang belum bisa melakukan validasi mendasar terhadap sumber sejarah yang ia temukan. Misalnya, ada Profesor dengan latar belakang studi Fisika yang menulis tentang suatu peristiwa sejarah. Sebagian orang cenderung hanya memandang gelar keprofesoran tanpa menelisik lebih lanjut latar belakang pendidikan narasumber tersebut.

Kedua. "Saya agak khawatir sejarah digunakan untuk, misalnya, kepentingan politik tertentu," kata Rei. Misalnya ketika calon kepala daerah menggunakan klaim bahwa dirinya merupakan keturunan tokoh tertentu yang berjasa bagi dapilnya. Masalahnya --kembali lagi--- tidak semua orang memiliki bekal dalam melakukan verifikasi data/sumber sejarah.

Hal ini merupakan tantangan bagi para sejarawan di era keterbukaan informasi seperti sekarang.

"Sejarawan pada masa kini hidup di dalam zaman pascakebenaran," tulis Kompasianer Christopher Reinhart. Ia sempat menuliskan keprihatinan ini melalui tulisannya yang berjudul "Para Sejarawan di Era Pascakebenaran".

Zaman pascakebenaran, tulisnya, adalah masa yang menunjukkan bahwa fakta objektif memiliki pengaruh yang lemah terhadap pembentukan opini publik.

Di sinilah Ilmu Sejarah harus berperan. Rei mengatakan bahwasanya tidak ada kebenaran tunggal saat membahas sejarah. Sebaliknya, ilmu sejarah menyediakan ruang ilmiah agar sebuah temuan sejarah dapat dibuktikan dengan penelitian.

Selanjutnya para pelaku studi sejarah perlu memiliki kemampuan dalam menjelaskan kepada masyarakat dengan bahasa-bahasa yang paling mudah. Juga mengedukasi masyarakat untuk bijak menyikapi kisah sejarah di sekitarnya. Membedakan sejarah dengan mitos, data yang valid dan tidak, dan lain-lain.

Nah, peringatan 17 Agustusan kali ini, Kompasianer Christopher Reinhart juga mau mengajak Kompasianer semua untuk menjadi masyarakat Indonesia yang peduli dengan sejarah Era Kolonial!

Seperti yang kita ketahui, sejarah dapat dipandang dari banyak dimensi. Kita tentunya sepakat bahwa kolonialisme yang terjadi di Indonesia banyak menimbulkan korban. Bahkan, tak dapat dipungkiri bahwa dampaknya masih kita rasakan hingga hari ini. Misalnya segregasi ras yang membuat kita memiliki stereotip dan bahkan menyebabkan konflik horizontal di Indonesia.

Tapi apakah hal tersebut perlu berulang di masa sekarang? Justru karena kita mengetahui bahwa hal tersebut merupakan "produk" penjajah, ke depannya kita tak boleh lagi jatuh dalam hal yang sama. Sebaliknya, kita perlu memanfaatkan sisa peninggalan kolonial sebagai modal bagi menapaki masa depan Indonesia yang lebih baik.

Yuk temukan jejak kolonialisme yang ada/terasa sekitarmu! Misalnya bangunan, infrastuktur, kuliner, kebijakan, ilmu arsitektur, dan lain-lain. Dan bagaimana hal tersebut dapat menjadi kekuatan untuk mengisi kemerdekaan!

Berani terima tantangan ini? Simak lebih lengkapnya di Topik Pilihan Kolaborasi di Kompasiana! Sst.. Lihat juga serial tulisan Christopher Reinhart di Kompasiana yang mencoba merefleksikan fenomena masa kini yang ternyata pernah terjadi di masa lalu di Narativ Series "JAS MERAH".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun