Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Christopher Reinhart: Saya Belajar Sejarah demi Menghindari Matematika

15 Agustus 2022   22:45 Diperbarui: 16 Agustus 2022   05:31 2118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Christopher Reinhart, Peneliti Bidang Sejarah. (Ilustrasi diolah Kompasiana)

Yang pertama, ia menyayangkan masih banyak masyarakat yang belum bisa melakukan validasi mendasar terhadap sumber sejarah yang ia temukan. Misalnya, ada Profesor dengan latar belakang studi Fisika yang menulis tentang suatu peristiwa sejarah. Sebagian orang cenderung hanya memandang gelar keprofesoran tanpa menelisik lebih lanjut latar belakang pendidikan narasumber tersebut.

Kedua. "Saya agak khawatir sejarah digunakan untuk, misalnya, kepentingan politik tertentu," kata Rei. Misalnya ketika calon kepala daerah menggunakan klaim bahwa dirinya merupakan keturunan tokoh tertentu yang berjasa bagi dapilnya. Masalahnya --kembali lagi--- tidak semua orang memiliki bekal dalam melakukan verifikasi data/sumber sejarah.

Hal ini merupakan tantangan bagi para sejarawan di era keterbukaan informasi seperti sekarang.

"Sejarawan pada masa kini hidup di dalam zaman pascakebenaran," tulis Kompasianer Christopher Reinhart. Ia sempat menuliskan keprihatinan ini melalui tulisannya yang berjudul "Para Sejarawan di Era Pascakebenaran".

Zaman pascakebenaran, tulisnya, adalah masa yang menunjukkan bahwa fakta objektif memiliki pengaruh yang lemah terhadap pembentukan opini publik.

Di sinilah Ilmu Sejarah harus berperan. Rei mengatakan bahwasanya tidak ada kebenaran tunggal saat membahas sejarah. Sebaliknya, ilmu sejarah menyediakan ruang ilmiah agar sebuah temuan sejarah dapat dibuktikan dengan penelitian.

Selanjutnya para pelaku studi sejarah perlu memiliki kemampuan dalam menjelaskan kepada masyarakat dengan bahasa-bahasa yang paling mudah. Juga mengedukasi masyarakat untuk bijak menyikapi kisah sejarah di sekitarnya. Membedakan sejarah dengan mitos, data yang valid dan tidak, dan lain-lain.

Nah, peringatan 17 Agustusan kali ini, Kompasianer Christopher Reinhart juga mau mengajak Kompasianer semua untuk menjadi masyarakat Indonesia yang peduli dengan sejarah Era Kolonial!

Seperti yang kita ketahui, sejarah dapat dipandang dari banyak dimensi. Kita tentunya sepakat bahwa kolonialisme yang terjadi di Indonesia banyak menimbulkan korban. Bahkan, tak dapat dipungkiri bahwa dampaknya masih kita rasakan hingga hari ini. Misalnya segregasi ras yang membuat kita memiliki stereotip dan bahkan menyebabkan konflik horizontal di Indonesia.

Tapi apakah hal tersebut perlu berulang di masa sekarang? Justru karena kita mengetahui bahwa hal tersebut merupakan "produk" penjajah, ke depannya kita tak boleh lagi jatuh dalam hal yang sama. Sebaliknya, kita perlu memanfaatkan sisa peninggalan kolonial sebagai modal bagi menapaki masa depan Indonesia yang lebih baik.

Yuk temukan jejak kolonialisme yang ada/terasa sekitarmu! Misalnya bangunan, infrastuktur, kuliner, kebijakan, ilmu arsitektur, dan lain-lain. Dan bagaimana hal tersebut dapat menjadi kekuatan untuk mengisi kemerdekaan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun