Baik peserta didik maupun ajar tentu merindukan aktivitas sekolah tatap muka sebagai mestinya.
Pemerintah pusat pun sudah melimpahkan wewenang kepada pemerintah daerah terkait menyelenggarakan sekolah tatap muka, meski masih harus terbatas.
Sekolah tatap muka terbatas ini, dikatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nadiem Makarim, berbeda dengan sekolah normal.
Pembelajaran tatap muka terbatas ini dikombinasikan dengan pembelajaran jarak jauh. Orangtua dapat memutuskan andai tidak nyaman, boleh melakukan pembelajaran jarak jauh atau kembali ke kelas.
Namun pertanyaannya, bagaimana kesiapan sekolah andai kembali mengadakan pembeljaran tatap muka?
Selain soal kesiapan sekolah mengadakan sekolah tatap muka terbatas ini, ada juga kisah perjalanan mencari mi terenak di Tiongkok.
Berikut kumpulan konten populer dan menarik yang berhasil dirangkum di Kompasiana, (Selasa 30/03/2021):
Pembelajaran Tatap Muka, Sudah Siapkah Sekolah?
Memang, pembelajaran jarak jauh menjadikan peserta didik tidak mesti menempuh jarak yang jauh untuk ke sekolah.
Namun, PJJ, banyak yang menilai, membuat anggaran rumah tangga menjadi membengkak.
Karenanya, banyak yang menginginkan belajar-mengajar kembali dilakukan dari sekolah. Tapi, dalam kondisi seperti sekarang, bagiamana mungkin itu dilakukan?
Kompasianer Kris Wantoro Sumbayak pernah melakukan simulasi dengan melibatkan segelintir murid. Ditampilkan tata cara masuk ke lingkungan sekolah, protokol memakai masker dan face shield, cuci tangan, jaga jarak sampai memasuki ruang kelas.
Semuanya direkam lalu diunggah di akun YouTube sekolah. Sehingga bisa memberi gambaran pada siswa lain, jika kelak betulan dilakukan PTM.
Pertanyaannya, apakah sekolahnya siap? (Baca selengkapnya)
"Maaf Bu Guru, Menurut Guru Les Saya Ada Cara yang Lebih Mudah"
Sebagai guru, Kompasianer Yuli Anita menceritakan pengalamannya saat mengajar.
Seorang murid sempat mengajukan pendapatnya terkait rumus matematika yang berbeda dengan yang diajarkannya. Ia menyebut sebagai carai cepat.
Namun, menurut Yuli, cara cepat" tanpa mengetahui konsep awal justru malah membuat cepat lupa. Jadi cepat bisa dan cepat lupa. (Baca selengkapnya)
Ketika Seorang Bos Berkata, "Pokoknya..."
Sudah merupakan suatu kewajaran tatkala seorang bos atau atasan memerintahkan sebuah pekerjaan kepada bawahan atau anak buahnya.
Dalam suatu organisasi bisnis khususnya hal itu merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya menggerakkan perputaran roda organisasi di setiap lini penopangnya.
Perdebatan, adu argumentasi, dan saling sangkal pendapat juga merupakan dinamika yang acapkali melengkapi kehidupan suatu organisasi. Tidak terkecuali juga bagi organisasi bisnis.
Sebuah "maha argumen" yang sepertinya sampai saat ini masih belum ditemukan "penangkalnya". Sebuah perintah, instruksi, arahan, dan juga penjelasan yang didasarkan pada satu kata, "pokoknya".
Ketika kata tersebut sudah meluncur maka itu menjadi pertanda atas beberapa hal. (Baca selengkapnya)
Pulang dari Jepang, Kini Jualan Durian
Kompasianer Junanto Herdiawan bertemu dengan Duha pada 2012 di Okayama, Jepang. Saat itu sedang ada seminar wirausaha, ia menjadi salah satu pembicara.
Duha bersama kawan-kawannya datang dari Osaka. Ia bekerja sebagai Jisshushei, sebutan bagi pekerja magang di Jepang, di salah satu pabrik pengelasan Yosetsu di Osaka. Tugas Duha saat itu adalah memotong besi. Ia bekerja dan mencari pengalaman di Jepang selama 3 tahun.
Sepulang ke Tanah Air, Duha memiliki semangat untuk melakukan wirausaha bermodalkan pengalaman dan tabungannya selama di Jepang.
Semangat wirausaha ini ditanamkan pada para pekerja magang dari Indonesia yang berangkat ke Jepang. Ia berjualan durian. (Baca selengkapnya)
Perjalanan Mencari Mi Terenak di Tiongkok
Mi atau mie, apapun namanya makanan sederhana satu ini menjadi kesukaan banyak orang di dunia, bahkan menjadi makanan pokoknya.
Kompasianer Alexander Fiandre Readi berkesempatan pergi ke Tiongkok untuk mencoba mi paling enak di sana.
Sama seperti di Indonesia, mi di Tiongkok sangat beragam. Ada yang terbuat dari tepung gandum, tepung beras, bahkan ada mi yang seperti jelly. Cara orang memasaknya pun berbeda: berkuah, digoreng, ditumis, atau disajikan dingin, semua ada.
"Saya sangat suka makan mi, bahkan lebih suka mi daripada nasi. Pergi ke Tiongkok adalah kesempatan emas untuk mencoba mi di tempat asalnya. Kampusku di sana berada di kota Guilin, Tiongkok Selatan," tulisnya. (Baca selengkapnya)