Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tulislah Sejarah dengan Apik agar Belajarnya Jadi Asyik

23 September 2020   20:29 Diperbarui: 8 Oktober 2020   10:39 1010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelajar mengamati diorama sejarah di Museum Kebangkitan Nasional (ex Gedung Stovia), Jakarta, Sabtu (19/5/2018). (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA via kompas.com)

Berbahagialah pelajaran sejarah masih dianggap cukup menarik oleh para siswa meski guru mengajarkan di kelas dengan tidak apik.

Pelajaran sejarah, sejauh yang kita tahu, terkadang hanya ditekankan pada "apa yang pernah terjadi di masa lalu", bukan pada "dampak apa yang terjadi atas peristiwa masa lalu pada hari ini".

Oleh karena itu, pelajaran sejarah hanya seputar hafalan satu peristiwa dengan peristiwa lain: nama-nama tokoh, peristiwa, tahun kejadian, sampai tempat tertentu. Mesti tidak seutuhnya keliru, hanya saja pelajaran sejarah lama-lama jadi membosankan.

Coba bayangkan ada seorang guru yang bisa menceritakan peristiwa sejarah dengan menarik, sehingga kita siswa bisa paham: sejarah itu mengenal kehidupan manusia sehingga akan terus berkembang.

Nah, apa yang kemudian menjadi tantangan para guru --maupun orangtua, misalnya-- dalam mengajarkan sejarah ini?

1. Mengerti Sejarah.

Pada beberapa kalangan, kata "history" kerap kali dibuat plesetan menjadi "his story".

Hal tersebut, tulis Kompasianer Djulianto Susantio, karena ada faktor obyektif dan subyektif dalam menulis sejarah. Menyoal sejarah memang terkadang kontroversi.

Di negara-negara maju mata pelajaran sejarah justru diperbanyak. Maka karakter kepahlawanan mereka terbentuk sejak dini. Juga patriotisme tentang kehebatan nenek moyang mereka.

Jadi, rasa-rasanya pelajaran seakan diabaikan. Sudah lama tidak ada pemutakhiran data masa lampau untuk buku-buku sejarah.

"Memahami masa lampau ibarat memahami seni. Kalau sudah hobi selalu menarik. Semoga semakin banyak masyarakat yang memiliki apresiasi," tulisnya. (Baca selengkapnya)

2. Sejarah Mewariskan Hal-hal yang Jadi Pelajaran

Dalam sejarah itu, tulis Kompasianer Nahariyha Dewiwiddie, akan meninggalkan sesuatu. Dari sesuatu itulah diambil pembelajaran yang baik diambil yang buruk ditinggalkan.

Benar, sebab tidak ada yang bisa dilewati waktu kecuali nilai-nilainya. Semestinya memang begitu sejarah diajarkan.

"Jika tak ada sejarah, nilai-nilai apa lagi yang akan diambil untuk membangun karakter yang baik? Ambil dari luar negeri? Oh, sudah pasti tak mungkin dan bertentangan dengan jati diri!" lanjutnya.

Setelah itu ada formula yang tak kalah menarik ditawarkan oleh Kompasianer Nahariyha Dewiwiddie dalam melihat sejarah.

Jika rasa ingin tahu dicampur dengan kenangan, akan menghasilkan sejarah. Sejarah yang membuatnya bisa melihat diri sendiri, dunia, maupun bangsanya. (Baca selengkapnya)

3. Pelajaran Sejarah yang Produktif

Munculnya pemikiran untuk tidak mewajibkan Pelajaran Sejarah sebenarnya mengejutkan dalam konteks negara yang terus atau memperkuat identitas kebangsaannya.

Secara umum, pengajaran sejarah adalah tentang metode pembelajaran yang menghubungkan proses dengan tujuan.

Kompasianer Aminuddin Malewa punya pandangan menarik untuk itu, sebab lewat pelajaran sejarah jadi pintu masuk yang legal untuk melakukan indoktrinasi ideologi.

"Pelajaran Sejarah menyediakan ruang yang konstitusional untuk melanggengkan hegemoni kekuasaan dengan membentuk pola pikir generasi muda memandang negara," tulisnya.

Oleh karena itu, publik semestinya sudah bisa mementingkan materi apa yang hendak diajarkan dalam pelajaran sejarah.

Dengan sendirinya, seperti yang ditulis Kompasianer Aminuddin Malewa, stigma menghafal akan gugur karena dari pelajaran sejarah yang produktif siswa akan dibekali metodologi dan kemampuan berpikir logis. (Baca selengkapnya)

4. Mungkinkah merevisi sejarah?

Yang dimaksud merevisi sejarah seperti yang ditulis Kompasianer Himam Miladi adalah bukan kita kembali ke masa lalu untuk memperbaiki peristiwa tersebut. Bukan! Merevisi sejarah itu dengan mencari kebenaran, fakta yang sesungguhnya terjadi pada masa itu.

Tidak boleh ada opini pribadi. Peristiwa sejarah ditulis sebagaimana dan sebenarnya yang terjadi.

Ada 3 kriteria utama seorang sejarawan ketika menulis dan meneliti sejarah: tunduk kepada fakta, punya integritas, dan obyektif.

"Banyak sejarah baru yang tercipta, tokoh-tokoh baru bermunculan dan yang lebih penting lagi, ada fakta-fakta baru yang lebih benar daripada apa yang dianggapnya 'fakta' pada edisi sebelumnya," tulis Kompasianer Himam Miladi, mengutip Michael H. Hart. (Baca selengkapnya)

***

Peraih nobel sastra asal Perancis, Anatole France pada novelnya yang fenomenal The Crime of Sylvestre Bonnard, menuliskan kritiknya tentang bagaimana sejarah dituliskan: The history books which contain no lies are extremely tedious.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun