Mengenang Jakob Oetama, sama halnya dengan melihat perjuangannya bertahan dan berjuang memertahankan Harian Kompas.
Mengutip apa yang pernah diucapkan Jakob Oetama, Kompasianer Jimmy S. Harianto menulis, mengelola sebuah surat kabar di negara berkembang seperti Indonesia ibarat "berlayar di antara Scyla dan Caribdis".
Pada masa Orde Baru di bawah Soeharto pada 1975 memang sangat sering menuliskan Tajuk dengan bahasa kiasan, simbolis, dan tidak jarang memakai pakai kata-kata bersayap yang tidak langsung pada sasaran.
"Jakob Oetama menyindir dalam tajuknya, betapa sulitnya mengelola surat kabar di negeri yang nasib medianya dipegang oleh penguasa," lanjutnya.
Catatan-catatan larangan di papan tulis Redaksi itu dituliskan oleh siapa saja penerima telpon di Redaksi Kompas, atau wartawan di lapangan yang mendapat peringatan larangan dari penguasa Orba.
Ujung-ujungnya, kalau dinilai terlalu kritis beritanya, pemimpin Redaksi dipanggil menghadap penguasa. (Baca selengkapnya)
5. Distorsi Informasi Media, Perlu Belajar Jurnalisme Makna dari Jakob Oetama
Ada pertanyaan mendasar untuk melihat distorsi informasi media: bagaimana media seyogianya menempatkan diri di era banjir informasi?
Kompasianer Joko Martono melihat di satu sisi kita bangga bahwa kemerdekaan pers sudah di depan mata seiring era reformasi dengan tuntutannya demokratisasi, supremasi hukum, dan menjunjung hak asasi manusia (HAM).
Oleh karena itu, jurnalis dituntut untuk tidak sekadar membuat laporan, tapi laporan yang komprehensif yaitu laporan yang berusaha memaparkan seluruh persoalan berikut aneka macam latar belakang, interaksi serta prosesnya.
"Meletakkan nilai yang menempatkan manusia dan kemanusiaan pada posisi sentral pemberitaan merupakan pilihan yang layak," tulisnya. (Baca selengkapnya)