Pada hari di mana ia telah meninggalkan kita, laki-laki yang lahir di Desa Jowahan, 500 meter sebelah timur Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, 27 September 1931 ini telah memberi banyak manfaat untuk semua orang.
Baginya, kebesaran nama dan cerita sukses perjalanan hidupnya bukanlah semata-mata karena kehebatan dirinya, melainkan providentia Dei.
"Hidup ini seolah-olah bagai sebuah kebetulan-kebetulan, tapi bagi saya itulah providentia Dei, itulah penyelenggaraan Allah," ujar Jakobus Oetama, nama asli dari pendiri Kompas Gramedia.
Berbekal keilmuan sejarah, Jakob Oetama mulai menemui bakat menulisnya sebagai sekretaris redaksi mingguan Penabur.
Minat dan kepekaan Jakob pada masalah-masalah manusia dan kemanusiaan yang kemudian menjadi spiritualitas Kompas diakuinya sebagai warisan yang dipupuk selama pendidikan di seminari menengah.
Selamat Jalan, Jakob Oetama https://t.co/9J896DiVdl— Kompasiana (@kompasiana) September 9, 2020
Kemudian, pada 1963, ia bersama rekannya PK Ojong menerbitkan majalah Intisari yang menjadi cikal bakal Kompas Gramedia.
Selang dua tahun kemudian keduanya mendirikan harian Kompas pada 28 Juni 1965. Nama "Kompas" sendiri, diberikan oleh mendiang Presiden pertama Indonesia, Soekarno.
Mari kita lihat bagaimana warisan dan gagasannya yang sudah maupun masih relevan hingga sekarang bagi para Kompasianer.
1. Kompasianer, Belajarlah dari Jakob Oetama: Menulis dengan Visi dan Kejernihan Berpikir!
Jacob Oetama menulis dengan visi dan kejernihan berpikir. Jakob Oetama adalah teladan seorang penulis. Untuk menulis maka Jakob Oetama membuat media untuk menulis: Kompas lahir.
Berkat visi ke depan yang luar biasa, tulis Komsianer Ninoy N Karundeng, Jakob Oetama pun melihat bahwa menulis terkait dengan penerbitan baik pers maupun buku: Gramedia penerbit dan toko buku lahir.